Pelarangan Kemendikbud kepada guru Agama seperti PAI yang mengimbau dan mewajibkan siswa dalam pelajarannya menggunakan atribut keagamaan justru melanggar UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 Tahun 2008 dan PP No.19 Tahun 2017 ten
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyebut pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Jumeri mengenai guru agama tidak boleh menetapkan atribut keagamaan sebagai kewajiban membuat para guru resah.
“Kami menilai pernyataan Pak Jumeri justru bertentang dengan SKB 3 Menteri itu sendiri. Pernyataan tersebut telah membuat para guru agama menjadi resah,” kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa pernyataan Dirjen Kemendikbud itu telah membuat para guru Pendidikan Agama Islam resah, mengingat adanya Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran Agama Islam (PAI) dalam struktur kurikulum sekolah, yang justru memuat tentang materi mengenakan penutup aurat dan atribut keagamaan Islam lainnya.
Misalnya ketika siswa/siswi belajar Al-Quran, para siswa wajib mengenakan jilbab atau selama pembelajaran PAI berlangsung, guru-guru akan meminta siswa/siswinya mengenakan atribut keagamaan seperti jilbab, peci, dan membawa kitab suci.
"Kewajiban penggunaan atribut keagamaan dalam proses pembelajaran agama ini juga saya rasa ada dalam kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu atau Aliran Kepercayaan," kata mantan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) itu.
P2G memandang esensi pesan dari SKB 3 Menteri adalah pelarangan terhadap sikap diskriminatif sekolah/daerah terkait aturan wajib mengenakan jilbab bagi siswi non-Muslim dan aturan pelarangan jilbab bagi siswi Muslim, dan kami sangat setuju.
“Tidak ada tawar-menawar perihal ini,” tambah abid Kajian Guru P2G, Agus Setiawan.
Akan tetapi jika aturan SKB 3 Menteri juga dimaknai Kemendikbud dengan melarang guru Pendidikan Agama Islam mengimbau dan mewajibkan siswa muslim mengenakan atribut keagamaan, khususnya dalam proses pembelajaran PAI, itu jelas berpotensi melanggar Permendikbud tentang Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian termasuk UU Guru dan Dosen.
Pernyataan Dirjen Kemendikbud juga berpotensi menyalahi prinsip dasar pendidikan yang juga tertuang dalam aturan kurikulum yang dibuat Kemendikbud sendiri, yaitu, proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah tak hanya memuat aspek kognitif (pengetahuan) saja.
Akan tetapi sebuah proses edukatif untuk membentuk sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Apalagi untuk jenjang pendidikan dasar, pembentukan aspek sikap dan keterampilan lebih dominan ketimbang kognitif.
"Mengenal dan menggunakan atribut keagamaan dalam proses belajar PAI adalah satu satu bentuk pembentukan sikap dan keterampilan siswa muslim. Apalagi di SD dan SMP. Mereka akan mengenal atribut agamanya masing-masing, dihayati, diamalkan, dilanjutkan kepada kompetensi lainnya sesuai jenjang kelas," katanya Agus.
Ia menyatakan pelarangan Kemendikbud kepada guru Agama seperti PAI yang mengimbau dan mewajibkan siswa dalam pelajarannya menggunakan atribut keagamaan justru melanggar UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 Tahun 2008 dan PP No.19 Tahun 2017 tentang Guru.
Dalam regulasi tersebut, guru memiliki kewenangan melakukan proses pembelajaran dan memberikan penilaian. Pelarangan guru PAI mewajibkan atau mengimbau siswa secara terbatas dalam pelajarannya untuk menggunakan atribut agama juga melanggar prinsip “Merdeka Belajar" yang selama ini digaungkan Kemendikbud.
P2G menilai Kemendikbud terlampau jauh mengintervensi proses pembelajaran guru agama di kelas. P2G khawatir keputusan itu akan mengganggu proses pembelajaran.
Perayaan kemajemukan
Anggota Dewan Pakar P2G, Anggi Afriansyah, meminta Kemendikbud dan sekolah-sekolah agar melaksanakan "perayaan kemajemukan dan toleransi" di sekolah.
Contohnya sekolah menentukan hari tertentu tiap minggunya, agar siswa dan guru bersama-sama menggunakan atribut keagamaan dan atribut kedaerahan (etnis) masing-masing siswa dan guru.
"Metode perayaan keberagaman seperti ini akan membangun karakter toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan di antara siswa. Atribut agama dan suku dikenakan di hari tertentu, bertujuan membangun kesadaran dan sikap toleran siswa, bahwa perbedaan itu nyata dan indah. Keragaman justru disemai di sekolah," kata peneliti LIPI itu.
Ia menambahkan bahwa pengenalan terhadap atribut keagamaan dan etnik penting dalam rangka membangun karakter siswa yang toleran, mencintai kebinekaan, dan saling menghormati. Walaupun terkesan artifisial, tapi pola seperti ini efektif apalagi di jenjang pendidikan dasar, menjadi pintu awal untuk saling mengenal dan selanjutnya mengarah kepada perjumpaan substantif untuk menegasi perbedaan.
Kemudian, jika dibaca utuh, SKB 3 Menteri sebenarnya tidak melarang guru Pendidikan Agama Islam mengimbau dan mewajibkan siswanya mengenakan atribut keagamaan di dalam kelasnya.
Oleh karena itu, P2G meminta Kemendikbud duduk bersama-sama pemda dan organisasi profesi guru, untuk segera membuat aturan teknis pelaksana agar SKB tidak menjadi liar tafsirannya di daerah dan sekolah.
Dalam membangun karakter kebangsaan dan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan yang terpenting adalah kewajiban pokok para guru dalam proses mendidik anak bangsa, demikian Anggi Afriansyah.
Baca juga: P2G khawatir SKB terkait seragam sekolah tidak akan implementatif
Baca juga: Wagub: SKB tiga menteri tidak larang siswi berjilbab
Baca juga: P2G sebut Mendikbud masih punya banyak pekerjaan rumah terkait guru
Baca juga: Kemendikbud: Guru tak boleh paksa anak gunakan atribut agama
Pewarta: Indriani
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021