Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengajak badan usaha untuk meningkatkan peran dalam mempercepat pencapaian target 100 persen akses air minum aman.Kami punya program 10 juta sambungan rumah (SR) dengan perkiraan kebutuhan anggaran Rp700 triliun.
"Kami punya program 10 juta sambungan rumah (SR) dengan perkiraan kebutuhan anggaran Rp700 triliun," ujar Menteri Basuki dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut Menteri Basuki, hal ini tidak mungkin ditanggung APBN sendiri, sehingga menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
"Umbulan salah satu contohnya yang sudah selesai dari Pasuruan dibawa ke lima kabupaten kota termasuk Kota Surabaya. Juga di Lampung ada KPBU SPAM Lampung dan ada Dumai Rokan Bengkalis itu juga sudah ada SPAM regional KPBU,” kata Menteri PUPR.
Baca juga: Menteri PUPR berharap flyover Purwosari urai kemacetan di Kota Solo
Menteri Basuki menyatakan ada tiga masalah utama dalam penyediaan air bersih di Indonesia, di mana yang pertama terkait dengan manajemen penyediaan air bersih.
Secara hidrologis, jumlah air yang tersedia tetap, sehingga apabila ada yang kekurangan atau kelebihan air, hal itu disebabkan manajemen pengelolaan airnya yang keliru.
"Apabila ada yang kekeringan dan kebanjiran pasti manajemen airnya yang tidak baik. Dan ada juga dalam hal kualitas, jika ada yang jelek pasti masalahnya manajemen airnya perlu diperbaiki. Contohnya jika ada waduk-waduk yang airnya warna coklat, itu dikarenakan di hulunya ada kerusakan. Hal ini membuat kualitas air menjadi buruk dan tidak bisa digunakan masyarakat,” tutur Menteri Basuki.
Baca juga: Target 100 persen akses air minum, PUPR dorong pembiayaan alternatif
Permasalahan selanjutnya menurut Menteri PUPR terkait kebocoran air baik yang diakibatkan secara teknis maupun administrasi yang masih tinggi.
Permasalahan terakhir terkait pengelolaan air bersih menurut Menteri Basuki adalah mengenai tarif air. Kebutuhan setiap daerah berbeda sehingga besaran tarif per kubik juga berbeda. Dengan demikian perlu ditetapkan koefisien masing-masing daerah sesuai dengan UMR dan lainnya untuk menentukan tarif.
"Tiap daerah-daerah bisa menyesuaikan dengan koefisien yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemahalan, UMR, dan lainnya. Seperti Jakarta pasti berbeda dengan Cianjur. Saya kira dengan demikian mungkin cukup fair," katanya.
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021