Anggota Komite I DPD RI Filep Wamafma berharap desain besar program pengembangan ekonomi berbasis wilayah adat dari pemerintah mampu menyentuh filosofi pembangunan yang diinginkan sebagian besar masyarakat adat Papua dan Papua Barat.Namun, di atas itu hukum adat tidak boleh dikesampingkan karena itulah yang menjadi roh hidup dalam komunitas masyarakat adat Papua
Menurut wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Papua Barat, pengembangan ekonomi berbasis wilayah adat tidak mesti berpatokan pada keunggulan komoditas alami yang berkembang di masing-masing wilayah adat saja.
"Membangun wilayah adat itu identik dengan pengakuan, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Itu yang seharusnya menjadi dasar desain besar pembangunan wilayah adat," kata Filep dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin.
Baca juga: Pemerintah diminta lebih perhatikan perempuan adat
Misalnya, jika pemerintah menyebut akan mengembangkan Sentra Pala di Fakfak, bukan itu yang disebut pembangunan berbasis wilayah adat karena sudah sejak lama masyarakat di sana memproduksi Pala.
"Bahkan, sejak zaman Belanda (Fakfak memproduksi Pala). Struktur tanah di Fakfak memang cocok untuk Pala, jadi tidak ada kaitannya dengan wilayah adat," kata Filep.
Meski demikian, Filep mengapresiasi langkah awal yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dengan mencanangkan strategi Quick Wins di tujuh kawasan pengembangan ekonomi berbasis wilayah adat Papua dan Papua Barat.
Fokus dari Quick Wins itu dinamakan program berbasis wilayah adat. Namun, dasarnya masih diletakkan pada komoditas yang dimiliki masing-masing wilayah adat.
Baca juga: Menteri PPPA: Peran perempuan adat diakui secara global
Sebagaimana dijelaskan Kementerian Dalam Negeri bahwa Wilayah Domberai akan dikembangkan sentra kakao (cokelat), Pariwisata Danau Anggi, dan Pendirian Pusat Kajian Keanekaragaman Hayati Bertaraf Internasional di Universitas Negeri Papua.
Di wilayah Bomberai akan dikembangkan sentra pala di Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana, pembangunan jalan menuju Perkebunan Pala di Fakfak dan Kaimana, dan pariwisata Teluk Triton di Kaimana.
Di wilayah Mee Pago akan dikembangkan Sentra Kopi, pembangunan RSUD Paniai, dan pengembangan Sentra Food Estate Sagu dan Padi.
Berikutnya, di wilayah Animha akan dikembangkan Perkebunan Karet Rakyat. Wilayah Adat Saireri akan dioptimalkan Bandara Frans Kaesipo dan dikembangkan hilirisasi perikanan.
Wilayah Adat Tabi akan difokuskan pada pengembangan Sentra Kakao dan Kelapa dan penguatan Peran Universitas Cenderawasih. Sementara itu, di wilayah Adat Laa Pago akan fokus pengembangan pada sentra kopi dan peternakan.
Baca juga: Kekuatan masyarakat adat hadapi pandemi COVID-19
Seharusnya, kata Filep, pembangunan berbasis wilayah adat identik dengan tiga hal mendasar, yaitu masyarakat adat beserta hak-haknya, hukum adat yang mendasari keberlangsungan hidupnya, dan nilai sosiologis masyarakat adat.
Pemerintah dapat meriset keterpaduan antara pembangunan industri modern dan konsep kearifan lokal sebelum membangun pertanian, perikanan, perkebunan, dan lainnya di wilayah adat.
Filep juga menyarankan agar program pemerintah itu memfokuskan diri pada pengakuan hak-hak masyarakat adat terlebih dahulu.
"Apa pun tipikal pembangunan yang dilakukan jika tidak menghormati dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini pernah dirampas, maka pembangunan bisa kontraproduktif," ujar Filep.
Dalam kaitan dengan hukum adat, Filep juga mempertanyakan bagaimana pola pembangunan dalam Quick Wins itu mampu menjaga eksistensi hukum adat itu sendiri.
Misalnya, Filep menyebut hukum adat Papua, sering kali memberikan batasan-batasan tertentu mengenai pengelolaan tanah dan hutan Papua.
Baca juga: Mendikbud berkomitmen lindung adat dan budaya Papua Barat
"Nah, bagaimana itu bisa diakomodasi bila Pemerintah secara langsung memetakan fokus pembangunan yang akan dilakukan? Ruang ekonomi tentu dimajukan. Namun, di atas itu hukum adat tidak boleh dikesampingkan karena itulah yang menjadi roh hidup dalam komunitas masyarakat adat Papua," kata Sekretaris Dewan Adat Byak Kabupaten Manokwari itu.
Dalam kaitan dengan nilai sosiologis masyarakat adat, Filep mengatakan bahwa masyarakat adat Papua hidup dalam komunitas adat yang menghubungkan setiap pribadi masyarakat adat sebagai satu keluarga besar.
Dalam satu ikatan sosiologis keluarga besar, dia berharap bentuk pembangunan tidak mencerai-beraikan entitas keluarga itu.
"Oleh karena itu, pengakuan terhadap hak-hak dasar dan martabat masyarakat adat itulah yang harus diutamakan," katanya.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021