• Beranda
  • Berita
  • PBB: Kekerasan terjadi di Sudan Selatan meski ada perjanjian damai

PBB: Kekerasan terjadi di Sudan Selatan meski ada perjanjian damai

19 Februari 2021 20:02 WIB
PBB: Kekerasan terjadi di Sudan Selatan meski ada perjanjian damai
Warga bernyanyi dalam sebuah aksi menjelang referendum di Abyei, Sudan, Sabtu (26/10). Warga di kawasan perbatasan Abyei yang terisolasi mengatakan mereka akan mendesak referendum mengenai apakah mereka akan bergabung dengan Sudan atau Sudan Selatan, meskipun telah diperingatkan akan kemungkinan terpicunya kekerasan di wilayah tersebut. (ANTARA FOTO/REUTERS/Goran Toma)
​​​​​​Kekerasan masih terjadi di wilayah Sudan Selatan dalam satu tahun setelah perjanjian damai ditandatangani untuk mengakhiri perang sipil yang sudah berlangsung sejak tahun 2013, demikian menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis Jumat.

Serangan kelompok bersenjata terhadap masyarakat sipil meningkat di tahun 2020, dan para korban disasar berdasarkan etnisnya, seringkali dengan bantuan pasukan pemerintah atau oposisi, menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Sudan Selatan.

Dalam laporan disebutkan bahwa ratusan orang terbunuh, sementara ratusan ribu lainnya mengungsi selama terjadinya pertempuran di area Equatoria Pusat, Warrap, Jonglei, dan wilayah Pibor.

Perempuan dan anak perempuan "diculik, diperkosa, diperkosa beramai-ramai, diperbudak secara seksual, dan dalam beberapa kasus dipaksa menikah," kata Komisi HAM PBB.

Skala kekerasan melampaui yang terjadi di 2013 hingga 2019, kata Ketua Komisi Yasmin Sooka.

Anggota Komisi, Andrew Clapham, menyebut skala kekerasan dan fakta bahwa kelompok lokal menggunakan senjata yang lebih baru menunjukkan kemungkinan keterlibatan kekuatan negara atau aktor eksternal.

Pelaksana tugas juru bicara militer Sudan Selatan, Santo Domic Chol, menyebut ini bukan kali pertama Komisi HAM PBB mengeluarkan laporan serupa.

"Kami tidak menentang laporan Anda, namun Anda harus membagikannya kepada kami sehingga jika terdapat hal-hal yang salah yang dilakukan oleh lembaga kami, kami dapat berubah," kata dia.

Domic Chol menambahkan bahwa bagaimanapun, pemerintah dan pihak militer tidak akan menerima kampanye negatif terhadap institusi yang dijalankan melalui media.

Sudan Selatan mendapatkan kemerdekaan dari Sudan pada 2011, setelah beberapa dekade melancarkan perang sipil. Kekerasan muncul pada akhir 2013, setelah Presiden Salva Kiir, yang berasal dari kelompok etnis Dinka, memecat wakil presiden Riek Machar, dari etnis Nuer.

Kedua tokoh itu telah menandatangani sejumlah perjanjian untuk mengakhiri perang yang diperkirakan telah menewaskan lebih dari 400.000 orang. Mereka berulang kali memundurkan tenggat untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional, namun berhasil melakukannya tahun lalu.

Pada Februari 2020, Kiir berjanji untuk menjanjikan Machar--yang sebelumnya pemimpin pemberontak--sebagai wakilnya kembali. Pemerintah kemudian memohon pendanaan agar dapat melaksanakan perjanjian tersebut, dengan menyebut tidak tidaknya cukup dana untuk melakukannya.

Sumber: Reuters

Pewarta: Suwanti
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021