• Beranda
  • Berita
  • Ketika kiriman uang pekerja migran terhambat pandemi

Ketika kiriman uang pekerja migran terhambat pandemi

20 Februari 2021 21:02 WIB
Ketika kiriman uang pekerja migran terhambat pandemi
Kegiatan keluarga pekerja migran Indonesia (PMI) di Desa Sukowilangung, Kecamatan Kalipare, Kabupaten Malang, Jawa Timur, saat kiriman uang dari luar negeri terlambat akibat pandemi COVID-19. (ANTARA/HO/UNIVERSITAS BRAWIJAYA/End)
Lamat-lamat dari kejauhan di tengah hamparan pohon jati dan berbagai pohon perdu, terdengar sekelompok orang seperti menumbuk sesuatu, bahkan terdengar riuh percakapan mereka dengan berbagai topik.

Semakin dekat semakin nyata suara tumbukan dan semakin jelas pula pembicaraan beberapa orang yang tengah mengerjakan sesuatu di teras salah satu rumah warga di Desa Sukowilangung, Kecamatan Kalipare, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Beberapa orang berusia paruh baya dan lanjut usia (lansia) tengah serius mengupas singkong (ubi kayu), ada pula yang mengiris dan menumbuk irisan singkong yang sudah dikeringkan untuk dijadikan gaplek (tepung yang dibuat dari singkong kering).

"Kami harus mencari alternatif penghasilan untuk sekedar bertahan hidup. Kami memproduksi gaplek, ada yang kami jual, ada pula yang kami makan sendiri karena uang kiriman dari saudara di luar negeri yang bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) tersendat akibat pandemi COVID-19," kata Sunarmi, salah seorang warga, keluarga pekerja migran yang saat ini masih berada di Hong Kong.

Munculnya pandemi COVID-19 pada awal tahun 2020 berdampak terhadap melambatnya pengiriman uang dari para pekerja migran Indonesia di luar negeri ke daerah asal, khususnya di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pandemi COVID-19 yang masih "melenggang", bahkan jumlahnya terus bertambah membuat situasi perekonomian dunia lesu, tak terkecuali para pekerja migran di sejumlah negara tujuan juga terdampak, bahkan tidak bisa mengirim uang kepada keluarga di Tanah Air.

Untuk melihat seberapa jauh dan seberapa besar dampak pandemi bagi para pekerja migran dan keluargannya di Tanah Air, sejumlah peneliti dari Universitas Brawijaya (UB) bekerja sama dengan Portsmouth University Inggris melakukan penelitian di salah satu daerah kantong pengiriman pekerja migran di Kecamatan Kalipare, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Peneliti tersebut adalah Faishal Aminuddin, Saseendran Pallikadavath, Sujarwoto, Keppi Sukesi, dan Henny Rosalinda. Mereka mendapati fakta bahwa banyak pekerja migran yang kehilangan pekerjaan, sehingga tidak dapat mengirimkan uang bagi keluarga mereka di Indonesia, termasuk Malang.

Selain itu, pemberian gaji sejumlah pekerja migran tertunda akibat pandemi, sehingga mereka tidak bisa mengirim uang untuk keluarga di Indonesia, bahkan sebagian pekerja migran Indonesia ini juga kesulitan secara ekonomi di negara tujuan.

Keterlambatan pengiriman uang dari para pekerja migran tersebut, membuat keluarga yang ditinggalkan di Tanah Air harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang sebelumnya hanya mengandalkan uang kiriman keluarganya yang bekerja di luar negeri.

Baca juga: Riset UB: Pandemi perlambat pengiriman uang pekerja migran ke Malang

Baca juga: Keberangkatan 680 pekerja migran asal Malang ditunda akibat pandemi


Pemberdayaan

Bagi keluarga migran yang sudah mapan, dalam artian sudah membuka usaha atau tabungan dari hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun di luar negeri, keterlambatan pengiriman uang dari luar negeri (pekerja migran) tidak banyak berpengaruh, namun bagi mereka yang baru bekerja, masih belum cukup uang untuk membuka usaha atau tabungan, harus bekerja seadanya dan sebisanya.

"Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan pekerja migran di luar negeri dan keluarga mereka di Indonesia selama pandemi COVID-19 ini," kata salah satu peneliti UB, Prof Keppi Sukesi.

Para pekerja migran asal Kabupaten Malang pada umumnya bekerja di sejumlah negara tujuan, seperti Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan dan Arab Saudi. Mereka bekerja di sektor domestik, seperti asisten rumah tangga atau pekerja pabrik.

Sejak terjadinya pandemi, banyak di antara mereka yang menghadapi permasalahan ekonomi, seperti terlambatnya pembayaran gaji dan pemberhentian pekerjaan bagi mereka yang bekerja di pabrik akibat pandemi.

Sehingga, mereka tidak bisa mengirimkan uang kepada keluarga di Tanah Air (daerah asal) hingga beberapa bulan. Tidak hanya itu, beberapa dari mereka juga menghadapi permasalahan psikologis akibat takut terpapar virus atau tidak bisa kembali ke Indonesia.

Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 605 Rumah Tangga (KK) dengan 1.926 anggota rumah tangga keluarga migran di Kabupaten Malang, semua mengalami permasalahan sosial ekonomi serta merasakan kekhawatiran terhadap keluarga mereka akibat pandemi COVID-19.

Pada umumnya, keluarga pekerja migran merupakan warga menengah ke bawah yang bergantung pada kiriman uang dari keluarga mereka yang bekerja di luar negeri, sehingga saat pekerja migran ini mengalami kendala terkait pengiriman gaji, keluarga ini terkena dampak langsung.

Tidak hanya problem terhambatnya kiriman uang dari luar negeri, isu-isu seperti pengadaan sekolah daring selama pandemi juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi keluarga migran. Banyak dari anak-anak pekerja migran yang kesulitan bersekolah akibat tidak memiliki akses terhadap jaringan internet.

Meskipun pemerintah telah memberikan bantuan sosial berupa bahan pangan dan kuota internet bagi pelajar, di beberapa wilayah persebaran pemberian bantuan masih belum merata, sehingga keluarga migran yang belum memperoleh bantuan dari pemerintah harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dalam hal kesehatan, para pekerja migran juga mengaku tidak pernah memperoleh bantuan kesehatan dari pemerintah Indonesia. Pemerintah dinilai kurang memperhatikan kondisi kesehatan pekerja migran yang ada di luar negeri.

Demikian juga keluarga yang ditinggalkan, pada umumnya bekerja sebagai petani di desa yang tidak memiliki akses terhadap asuransi kesehatan, yaitu BPJS. Seharusnya, pemerintah daerah bisa membantu iuran BPJS Kesehatan bagi warga kurang mampu dari dana APBD.

Baca juga: 50 ribu masker dikirim Pemkab Malang untuk pekerja migran

Baca juga: P4TKI Malang catat 9.840 pekerja migran diberangkatkan pada 2018


Koperasi purna PMI

Berbeda dengan para pekerja migran yang kini masih berjibaku di negeri orang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, para purna pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Malang difasilitasi pemerintah untuk membentuk usaha jasa keuangan berupa koperasi, bahkan di setiap kecamatan diharapkan ada satu koperasi purna PMI.

Persoalan para pekerja migran Indonesia adalah ketika mereka kembali ke Tanah Air setelah habis masa kerja di luar negeri. Hal ini menjadi persoalan serius bila PMI telah berusia lanjut dan tetap berkukuh untuk bekerja di luar negeri.

Padahal, sudah tidak lagi terikat perjanjian kerja, misalnya dengan pihak penyedia tenaga kerja luar negeri. Kondisi ini kemungkinan yang terjadi dan menimpa para PMI, termasuk para PMI Kabupaten Malang yang menjadi bagian dari kantong tenaga kerja ke luar negeri di Indonesia.

Para PMI yang memaksakan diri ini sebagian tidak memiliki perlindungan hukum serta rentan menjadi korban saat mereka berkukuh untuk tetap bergelut menjadi PMI tanpa mengikuti prosedur resmi negara.

Melihat kondisi ini, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Malang terus berupaya memberikan perlindungan dan sandaran bagi para purna PMI asal daerah itu, khususnya untuk memotong rantai persoalan yang sering terjadi di kalangan PMI setempat.

Upaya yang dilakukan Disnaker Kabupaten Malang, salah satunya dengan cara memberdayakan mereka dalam berwirausaha didomisilinya masing-masing, seperti di Kecamatan Sumbermanjing, Gondanglegi, Kasembon, Pagelaran dan sejumlah kecamatan lain yang menjadi kantong pekerja migran di Kabupaen Malang.

Kepala Disnaker Kabupaten Malang Yoyok Wardoyo mengatakan PMI purna bisa bekerja di rumahnya tanpa memaksakan kembali bekerja di luar negeri.

"Kita kuatkan pemberdayaan bagi PMI purna dengan harapan mereka bisa memiliki mata pencaharian setelah tidak lagi bekerja di luar negeri. Program baru ini bukan hanya menyasar secara personal," ucap Yoyok.

Salah satu upaya penguatan pemberdayaan bagi PMI purna tersebut adalah berdirinya koperasi Bina Mandiri yang didirikan oleh para purna PMI Korea Selatan di Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang.

Koperasi lahir dari dana remitan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun untuk proses penguatan pemanfaatan hasil kerja di luar negeri. Koperasi ini berdiri awalnya untuk membantu keluarga PMI dalam menyediakan dana pinjaman jika mereka membutuhkan dana secara mendadak.

Dari simpan pinjam koperasi Bina Mandiri ini banyak keluarga PMI yang memiliki kemandirian untuk berwirausaha dengan membuka UKM baru, seperti keripik pisang, emping melindu, warnet, dan lain sebagainya, meskipun masih terbatas dalam bentuk dana dan pengelolaannya (SDM).

Pemerintah Kabupaten Malang melalui dinas atau organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan serta BKKBN harus lebih peduli kepada keluarga maupun para PMI yang menjadi "pahlawan" devisa tersebut.

Untuk meningkatkan kesejahteraan dan lepas dari ketergantungan dari pengiriman uang keluarganya yang bekerja di luar negeri, pemerintah maupun swasta perlu menggali potensi ekonomi mereka dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Penguatan manajemen koperasi dan menggali potensi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) harus terus digali dengan memberdayakan keluarga PMI agar mereka tidak terus bergantung dengan kiriman uang dari luar negeri, tetapi bisa mandiri, bahkan berinvestasi demi kelangsungan hidup mereka di masa purna (tua).*

Baca juga: Jatim penyumbang pekerja migran Indonesia tertinggi

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021