• Beranda
  • Berita
  • Ari Dwipayana: Perkuat arus tengah dalam masyarakat multikultur

Ari Dwipayana: Perkuat arus tengah dalam masyarakat multikultur

23 Februari 2021 11:58 WIB
Ari Dwipayana: Perkuat arus tengah dalam masyarakat multikultur
Koordinator Staf Khusus Presiden AAGN Ari Dwipayana. ANTARA.
Koordinator Staf Khusus Presiden AAGN Ari Dwipayana menekankan pentingnya penguatan arus tengah, di tengah tantangan atas kondisi masyarakat yang heterogen.

Hal itu disampaikan Ari saat menjadi salah satu nara sumber dalam Rapat Koordinasi Dirjen Bimas Hindu dengan para tokoh Umat Hindu, di Jakarta, Senin (22/2), sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta Selasa.

"Penguatan arus tengah penting, khususnya di saat banyak negara sedang menghadapi tantangan atas kondisi masyarakat yang heterogen," ujar Ari.

Baca juga: Masyarakat Multikultural Prihatinkan Bom Cirebon

Baca juga: Elit pemerintah-masyarakat harus mengajak menjaga kebersamaan


Dia mengatakan Jerman atau Eropa yang dulu sangat homogen, saat ini juga berhadapan dengan tantangan baru yang disebabkan kondisi masyarakatnya yang sekarang sangat heterogen. Pada saat yang sama, banyak negara yang juga mulai bergeser dari monokultur menjadi multikultur.

"Di tengah kondisi tersebut, maka kebinekaan, baik intra-agama dan antaragama menjadi keniscayaan," ujarnya.

Dia menyampaikan kebinekaan adalah anugerah istimewa yang harus terus dijaga dan rawat bersama-sama, salah satunya dengan memperkuat gerakan arus tengah keberagamaan.

Dalam paparan yang berjudul “Memperkuat Arus Tengah”, Ari menjelaskan ukuran keberhasilan literasi beragama bukanlah pada seberapa besar manusia dapat memahami teks kitab suci, namun sejauh mana mampu melakukan perubahan atau transformasi etik berdasarkan pemahaman yang dimiliki.

"Dengan demikian, kita akan melihat kemeriahan beragama tegak lurus dengan perubahan-perubahan etik dalam masyarakat, yang tergambar dari semakin membaiknya entitas sosial dan kesadaran sosial," ujar dia.

Menurutnya, literasi tanpa perubahan etik masyarakat, akan memunculkan banyak persoalan baru, tanpa ada titik kemajuan.

Sementara moderasi adalah hal yang fundamental dalam suatu peradaban.

Baca juga: Ari Dwipayana: Candi Prambanan menginspirasi Indonesia

"Tanpa moderasi, tidak akan ada dialog, tidak akan ada satu konsensus untuk membangun sinergi. Moderasi dalam berbagai hal, termasuk dalam politik, dalam beragama adalah cara kita untuk menemukan titik temu," jelasnya.

Lebih lanjut Ari menyampaikan tentang bahaya ekstrimisme dan radikalisme yang dapat menimbulkan konflik tajam, bahkan berakhir dengan kekerasan.

Ekstrimisme dan radikalisme bisa muncul di semua agama yang umumnya dimulai dari sikap intoleransi yang tidak diantisipasi sejak dini.

Dalam kondisi tersebut, kata dia, gerakan-gerakan ekstrimisme umumnya, “re-claim the state”. Klaim-klaim tersebut semakin kuat, karena didukung era post truth yang membuat klaim tersebut tersebar secara cepat dan luas.

Di sisi lain, tren post-truth juga membuat warganet yang berpikiran dangkal menangkap pesan tersebut tanpa berpikir kritis.

"Spektrum bahaya ektrimisme semakin mengkhawatirkan dengan dimainkannya politik identitas dan sentimen agama yang terkonsolidasi dengan parameter perbedaan suku, ketimpangan ekonomi. Sehingga, tidak sepenuhnya bisa dilihat sebagai faktor agama sebagai variabel tunggal," katanya.

Dia menekankan arus tengah harus dikuatkan dan dijaga, karena memiliki kekuatan yang sangat besar.

Mayoritas silent majority dan sikap moderat, merupakan potensi arus tengah yang sangat besar dan kuat.

Sikap moderat, memudahkan dialog dan kerja sama untuk memperkuat keberagaman dan mengoptimalkan upaya-upaya merawat common platform: NKRI, kebhinnekaan, dan menjaga Pancasila serta UUD 1945.

Doktor Politik UGM ini juga menegaskan pentingnya menghidupkan dialog tanpa terjebak pada formalitas dan seremonial. Dialog sejati harus sampai pada akar rumput.

Selain dialog yang efektif, kerja sama dan kerja bersama juga dinilainya sangat penting. Sinergi antaragama terkait berbagai isu bersama, seperti kemiskinan, lingkungan hidup, kebodohan, keterbelakangan, ketimpangan sosial menurut dia, sudah saatnya dicarikan solusi bersama.

Terakhir, Tokoh Puri Kauhan Ubud ini menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 yang menimpa semua umat beragama dengan dampak yang sangat dahsyat, hendaknya juga dipandang sebagai momentum yang menyatukan, momen konsolidasi politik dan sosial untuk melakukan pemulihan ekonomi. Kunci menghadapi pandemi adalah sinergi dan kolaborasi.

Dalam rapat tersebut turut hadir perwakilan 36 tokoh dari Majelis Umat Hindu, Organisasi Masyarakat dan Kepemudaan Hindu serta pejabat Dirjen Bimas Hindu secara langsung maupun virtual.

Baca juga: Ari Dwipayana: Stafsus bangun narasi Indonesia Maju

Baca juga: Kagama akan gelar orasi kebangsaan di Jakarta


Dirjen Bimas Hindu, Tri Handoko Seto dalam sambutannya menekankan pentingnya membangun kesamaan pandangan tentang moderasi beragama baik, dengan kalangan eksternal, maupun internal antar-umat Hindu sendiri.

Menurut Seto, setidaknya ada empat indikator keberhasilan moderasi beragama yang harus terus diupayakan seluruh stakeholder Kementerian Agama dan masyarakat, yaitu komitmen kebangsaan, anti- kekerasan, toleransi dan penerimaan terhadap tradisi.

Menurut Seto, Menteri Agama terus menggelorakan semangat moderasi beragama karena sehebat apapun program-program pemerintah, jika tidak dijiwai moderasi beragama akan menimbulkan kerusakan-kerusakan yang kerusakannya bisa melebihi kecepatan pembangunannya sendiri.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021