Waspada untung rugi diet kekinian

17 Maret 2021 10:57 WIB
Waspada untung rugi diet kekinian
Ilustrasi (freepik/pereslavtseva)
Urusan berat badan memang tak ada habisnya sehingga hal ihwal soal diet juga tak pernah menjadi usang untuk jadi bahan bahasan.

Pun ketika beragam diet kekinian banyak ditawarkan dengan berbagai untung rugi yang menyertai termasuk tawaran menggiurkan bisa turun berat badan puluhan kg dalam waktu relatif singkat.

Meskipun begitu Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (Pergizi Pangan Indonesia) tak mau tinggal diam demi merespons begitu banyaknya ragam diet kekinian yang sebagian diantaranya bahkan digrandrungi anak-anak muda.

Salah satu diet yang menarik perhatian adalah diet ala artis Tya Ariestya yang tips turun berat badannya itu dibagikan dalam buku berjudul #FitTyaAriesTya.

Tya Ariestya memang menerapkan pola diet yang unik dengan cara pengendalian lemak tubuh bahkan beberapa pernyataan di dalam bukunya yang kontroversial mengenai konsumsi sayur yang disebutkan menghambat penurunan berat badan.

Baca juga: Mengenal diet GM, klaim turunkan hingga 6,8kg dalam tujuh hari

Baca juga: Pentingnya jaga keseimbangan nutrisi di kala pandemi


Tya juga membagi pengalaman dalam bukunya itu tentang kisahnya dalam menerapkan suatu diet plus pengaturan olahraga dan tidur yang oleh penulis disebut “pola hidup sehat”. Juga disertai berbagai informasi dan pernyataan dari penulis serta testimoni.

Menanggapi hal itu, Ketua Program Studi Dietisien, FK-KMK, Universitas Gajah Mada Tony Arjuna, MNutDiet, PhD, AN, APD, menyatakan memiliki berat badan (BB) ideal adalah impian banyak orang.

Namun, proses mencapai BB ideal tidaklah mudah, terutama karena pola makan dan gaya hidup masa kini yang cenderung membuat asupan energi jauh diatas kebutuhan harian. Sehingga secara perlahan BB terus bertambah hingga akhirnya berada pada kondisi yang menimbulkan berbagai macam gejala yang menurunkan kualitas hidup.

Menurut Tony, proses kenaikan BB biasanya terjadi perlahan dan dalam waktu bulanan, bahkan tahunan, karena tubuh secara alami tidak mungkin menumpuk massa lemak berlebih dengan cepat.

Namun, prinsip utama ini sering dilupakan orang yang ingin menurunkan BB, yaitu defisit energi; sehingga berbagai macam metode penurunan BB yang menawarkan penurunan BB instan dan banyak selalu menjadi pilihan.

Padahal, menurut Tony, proses instan tersebut (apapun bentuknya) selalu membawa risiko besar yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan jangka panjang.

Khusus untuk metode penurunan BB instan dengan “fad diets” atau “crash diets” yang populer di masyarakat, salah satu ciri utamanya adalah pola makan yang dilakukan mengandung energi yang relatif rendah dan mengekslusi makanan/kelompok makanan tertentu.

Jika eksklusi dilakukan pada kelompok makanan yang esensial, maka kemungkinan akan terjadi defisiensi zat gizi yang signifikan dalam waktu yang relatif singkat.

Baca juga: Kiat awali diet bagi penderita obesitas

Baca juga: Orang obesitas tak pasti kena diabetes, tapi aman dari penyakit lain?

Baca juga: Berat badan sehat, cegah obesitas sambil waspadai mitos berdiet
Pandangan Kontroversi

Diet ala Tya Ariestya mengundang kontroversi mengingat beberapa pernyataan di dalamnya yang dianggap kontradiktif.

Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia Prof Hardinsyah MS PhD menilai dalam buku tersebut ada dua pernyataan yang tidak benar yaitu pernyataan “…kalau sayur bisa menghambat penurunan berat badan…” (halaman 41); dan pernyataan “… cara ini adalah cara paling sehat diantara banyak cara diet lainnya…” (halaman 75).

Diharapkannya, pernyataan ini bisa dipertimbangkan untuk diralat oleh pemilik pernyataan dan pemilik tulisan sesuai bukti terkini yang kokoh.

Prof Hardinsyah yang juga Guru Besar Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB University, itu menyampaikan apresiasi kepada penulis buku karena telah menuangkan kisahnya dengan sederhana dan menarik. Menurut dia, sungguh jarang orang yang bisa menulis seperti ini.

Selanjutnya pria yang menjabat sebagai President Federation of Asian Nutrition Societies (FANS) itu memaparkan hasil analisis kandungan gizi terhadap 12 menu diet di dalam buku tersebut yang diterapkan selama 5,5 bulan (29 Juni sampai 14 Desember 2020).

Kandungan energi dalam diet pada dua pekan pertama 953 kkal/hari kemudian sebulan kemudian menurun menjadi 400-500 kkal/hari dan turun lagi menjadi sekitar 250-300 kkal pada bulan-bulan berikutnya.

Kesimpulan Prof Hardinsyah, dietnya dimulai dengan diet Rendah Energi (Diet RE) kemudian dilanjutkan dengan diet Sangat Rendah Energi (Diet SRE).

Dengan diet tersebut insulin akan rendah, dan kekurangan energi tubuh diambil dari pemecahan cadangan glikogen pada tahap awal, kemudian berlanjut pemecahan cadangan lemak sampai defisit energi via diet dan olahraga ditiadakan.

Ia menilai berbagai keluhan atau masalah efek samping pasti akan ada pada setiap diet ekstrim. Dalam proses ini banyak cairan, keton, dan elektrolit terbuang berupa urin.

Suplemen gizi mikro pun diperlukan untuk mengatasi kekurangan gizi mikro; dan suplemen asam lemak esensial diperlukan untuk menjaga fungsi empedu.

Selagi tidak ada komplikasi, dengan disertai minum, olahraga dan tidur yang cukup dan di bawah pengawasan profesional dan kedisiplinan klien maka permasalahan ini diupayakan dapat diminimalkan.

Berat badan yang turun tersebut sekitar 65-75 persen adalah dari cadangan lemak dan selebihnya adalah air dan masa tubuh tanpa lemak yang terlarut.

Menurut Hardiansyah, menerapkan diet ini tidak akan semudah yang dikira, karena memerlukan disiplin, ketekunan, dan sanggup menerima efek samping, serta harus didampingi profesional medis, gizi, dan olahraga, bahkan kadang perlu psikolog.

Biaya diet dan suplemen bisa murah tapi biaya tenaga profesional tentu tidak murah atau tidak semua bisa menjangkau, kecuali pertemanan.

Memang faktanya mencegah obesitas lebih baik daripada mengendalikan bila obesitas sudah terjadi. Ada banyak cara mencegah dan mengendalikan lemak tubuh, tapi tidak ada satu cara yang paling sehat untuk semua orang.

Baca juga: Jangan diet, ibu menyusui harus memiliki enam zat gizi penting

Baca juga: Ahli gizi tak sarankan lakukan diet ekstrem saat pandemi

Baca juga: Viral diet ekstrem & tanpa sayur ala Tya Ariestya, ini kata ahli gizi

Sumber prebiotik

Faktanya konsumsi sayur yang cukup dan aman dalam pola gizi seimbang terbukti tidak menyebabkan peningkatan berat badan, bahkan turut menurunkan berat badan.

Konsumsi sayur yang cukup dan aman juga turut mencegah obesitas, penyakit jantung koroner, diabetes tipe 2, dan kanker tertentu yang kejadiannya semakin meningkat di Indonesia.

Bahkan tidak ada bukti ilmiah bahwa mengonsumsi sayur mengganggu mikroba baik dalam tubuh. Mengonsumsi sayur menjadi sumber prebiotik atau ‘makanan’ bakteri baik sehingga meningkatkan pertumbuhan bakteri baik di usus.

Review yang dilakukan Swinburn BA et al pada 2004 juga menunjukkan bahwa konsumi pangan berserat, termasuk sayuran, menurunkan risiko obesitas pada level bukti sangat meyakinkan (“convincing”).

Suatu studi dengan disain yang meyakinkan yaitu meta-analisis, memperkuat bukti ilmiah sebelumnya bahwa konsumsi sayur dan buah tidak meningkatkan berat badan, bahkan menurunkan berat badan dan memperlambat peningkatan berat badan (Mytton OT et la, 2014).

Studi kohort selama lima tahun di Tiongkok membuktikan bahwa konsumsi sayur dan buah tidak berefek pada peningkatan berat badan wanita, bahkan menurunkan berat badan pada pria (Yuan S et al., 2018).

Sementara studi meta-analisis terkini oleh Schlesinger S et al (2019) memberikan bukti yang kuat bahwa konsumsi sayur tidak meningkatkan berat badan bahkan menurunkan berat badan, meski dikonsumsi sampai 400 g/hari. Sementara konsumsi buah bila melebihi 350 g/hari, dan konsumsi serealia bila melebihi 80g/hari meningkatkan berat badan.

Bahkan berdasarkan tiga studi meta-analisis masing-masing oleh Carter P (2010), Li M et al (2014), dan Wang P-y et al (2016), membuktikan bahwa konsumsi sayuran hijau menurunkan risiko penyakit diabetes melitus tipe2. Juga dibuktikan melalui review dan studi meta-analisis bahwa sayuran hijau dan kubis-kubisan turut mencegah penyakit jantung coroner (Pollock R.L et al, 2016 dan Tang G-Y, 2017).

Di sisi lain semua organisasi pangan dan kesehatan tingkat dunia, dan semua lembaga pemerintah, organisasi profesi dan kepakaran di bidang pangan, gizi dan kesehatan di Indonesia, selalu menganjurkan pentingnya makan sayur bagi kesehatan.

Konsumsi sayur dan buah penduduk Indonesia saat ini masih rendah yaitu 210 g/kapita/hari (BPS 2019), yang seharusnya untuk hidup sehat berdasarkan anjuran Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerin Kesehatan RI adalah 400 g/kapita/hari, terdiri dari 250 g sayur dan 150 g buah.

Disadari bahwa ada orang yang tidak suka makan sayur, yang seharusnya dengan komitmen (niat) yang kuat disertai berbagai cara kuliner dan seni menikmati makanan dapat diatasi secara bertahap.

Saat ini semua khawatir, keberadaan informasi dari public figure atau influencer yang tidak sesuai teori dan bukti ilmiah serta regulasi tentang anjuran mengonsumsi sayur, akan mengubah persepsi masyarakat terhadap program pemerintah dalam meningkatkan konsumsi sayur masyarakat.

Faktanya memang tidak ada satu cara atau diet yang paling sehat untuk semua orang. Diet atau pola makan atau pola hidup sehat untuk pengendalian lemak tubuh orang yang obes bersifat unik atau “personalize” (individual). Disebut bersifat “personalize” karena ada potensi keunikan atau pembeda seseorang dengan orang lain dalam responnya terhadap diet.

Faktor yang mempengaruhi kelebihan lemak tubuh atau obesitas itu kompleks dan tidak hanya soal diet (makanan, minuman), olahraga dan tidur, serta pengelolannya.

Tetapi masih ada faktor lain seperti faktor genetik, kondisi awal komposisi tubuh, kondisi masa lalu misal pernah stunting atau obes, stres, keseimbangan hormon, enzim, fisiologi, inflamasi, probiotik, jenis kelamin, umur, polusi atau toksik, lingkungan, penyakit penyerta, dan lain-lain beserta interaksinya dalam merespons dan direspons oleh makanan dan zat didalamnya.

Misalnya saja diet sangat rendah energi (Diet SRE) belum tentu cocok bagi semua orang obesitas. Juga belum tentu semua orang obes punya kemampuan yang sama dalam ketahanan merespon keluhan atau efek samping yang dihadapi dalam program Diet SRE seperti lapar, pusing, mual, lemas, konstipasi, kram, dan potensi risiko terjadinya batu empedu, dan rambut gampang rontok setelah enam bulan.

Studi meta analisis menunjukkan bahwa efek “yoyo syndrome” setelah sekian tahun dari Diet SRE tidak berbeda dengan efek diet rendah energi (Diet RE).

Jika seseorang yang obesitas perlu mengikuti Diet SRE, maka akan perlu asesmen persyaratan tertentu dan di bawah pengawasan tenaga profesional, agar minimal risiko.

Di Amerika diet SRE tidak diperkenankan bagi anak dan remaja, bagi ibu hamil, ibu menyusui dan bagi mereka yang menyandang penyakit serius seperti kanker, gagal ginjal, jantung koroner, stroke dan gangguan psikologis serius.

Juga hanya dibolehkan bagi orang obes dengan kriteria tertentu missal IMT lebih dari 30, kelebihan berat badan minimal 30 persen atau pertimbangan lain.

Calon klien juga harus bersedia bekerja sama dengan dokter, dietisien, nutrisionis olahraga, dan bila perlu psikolog. Selain juga perlu diases dan diagnosis mencakup aspek medik, gizi, olahraga, dan psikososial yang penting untuk pengaturan gaya hidup secara holistik, agar tidak terjadi “yoyo syndrome”. Artinya dibutuhkan komitmen klien dan semua pihak profesional yang terlibat.

PERGIZI PANGAN Indonesia mengharapkan lembaga pemerintah yang berwenang di bidang kesehatan dan organisasi professional kesehatan terkait untuk bekerja sama menyusun panduan asuhan gizi dan kesehatan holistik dalam pelayanan diet SRE yang memiliki “evidence based”.

Selain itu diharapkan masyarakat lebih waspada dan cermat dalam memilih cara mengendalikan komposisi tubuh dan hidup sehat sesuai keunikan permasalahannnya. Dan terpenting pula melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada pakar di bidangnya.

Baca juga: Diet ekstrem yang berbuah langsing tapi banyak ruginya

Baca juga: Ahli gizi: diet kurang dari 800 kalori sehari tak boleh sembarang

Baca juga: Berapa kebutuhan protein untuk turunkan berat badan dan bangun otot?






 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021