transisi bisnis lebih bertanggung jawab secara lingkungan juga
Ini soal etika. Soal mengambil peran dan tanggung jawab perusahaan sebagai bagian dari masyarakat global, untuk bersama-sama mencari solusi mengatasi persoalan krisis iklim.
Pandemi COVID-19 tidak bisa dipungkiri memunculkan ketakutan banyak pihak akan dampak lain yang lebih besar di masa depan. Bayangan krisis iklim dan runtuhnya keanekaragaman hayati terlalu gelap untuk dihadapi seketika setelah wabah SARS-CoV-2 menyerang.
Kondisi itu sangat mungkin semakin cepat terjadi mana kala manusia membabi buta menggenjot produktivitas mereka untuk mencapai target ekonomi yang tidak pernah mereka raih selama masa pandemi, tanpa mengindahkan keselarasan alam.
Karenanya Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guiterres berulang kali meminta pemimpin negara yang sudah berkomitmen dengan Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing untuk lebih ambisius menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) mereka.
Dirinya juga mengingatkan, kerja kolaboratif menjadi keniscayaan agar upaya mengatasi persoalan krisis iklim semakin kuat. Jalan ke depan tidak akan mudah, dan akan menjadi momen pertarungan seumur hidup, karenanya harus melangkah lebih cepat dan lebih jauh bersama-sama.
Pada level nasional, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa baru saja meluncurkan Dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim. Dokumen tersebut melengkapi arah kebijakan pengendalian iklim Indonesia yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Kesepakatan Paris (Paris Agreement), serta Low Carbon Development Indonesia (LCDI) dan Build Back Better atau B3-Low Carbon.
Baca juga: Pandemi COVID-19 momen pulihkan ekonomi nasional yang prolingkungan
Dalam hal perencanaan tersebut bahkan mantan Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pelaksana, Kebijakan dan Kemitraan Pembangunan untuk Bank Dunia pun mengakui inisiatif Indonesia lebih maju ketimbang negara-negara lain di dunia yang saat ini masih fokus berjibaku mengatasi pandemi COVID-19, dan masih ragu untuk mengalihkan model ekonomi mereka menjadi "hijau".
Kini, Indonesia, sama halnya dengan negara-negara yang ikut meratifikasi Kesepakatan Paris lainnya harus mampu menjawab tantangan yang sebenarnya, yakni mengurangi emisi GRK yang dihasilkan sesuai yang ditargetkan dan secara bersamaan tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonominya.
Dalam sesi wawancara bersama ANTARA, Head of Sustainability Gojek Tanah Lee Sullivan sempat berbagi pengalamannya saat memimpin kerja sama dengan para pemimpin sektor publik dan swasta dalam berbagai inisiatif keberlanjutan untuk kawasan Asia Pasifik di World Economic Forum (WEF) Genewa.
Bahwa sesi-sesi pertemuan bersama pemimpin-pemimpin top dunia mulai dari menteri hingga CEO atau presiden direktur perusahaan multinasional terbesar di Indonesia, Asia, maupun dunia itu akan menjadi begitu berpengaruh ketika mereka membuat keputusan di sana, yang efeknya dapat dirasakan di seluruh industri, negara, bahkan kawasan regional.
"Intinya mereka mau bikin positif 'impact', tapi caranya yang susah," ujar Tanah yang mencoba menjelaskan bagaimana sulitnya kebijakan iklim yang baik di level tertinggi sebuah perusahaan dapat diterapkan hingga di lapangan.
Berbekal pengalamannya di Genewa itu maupun di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada, dan di Pemerintahan Australia, Tanah yang memegang gelar Bachelor in International Relations dari Bond University, Australia, serta gelar Master of International Politics and Political Economy dari University of Melbourne, Australia, tertantang untuk menerapkan inisiatif-inisiatif berkelanjutan yang telah didapatnya melalui Gojek.
Baca juga: Gojek tambah fitur ramah lingkungan GoGreener Carbon Offset
Baca juga: KLHK: Target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sudah realistis
"Payung" berkelanjutan Gojek
Gojek menyiapkan GoGreener sebagai "payung" dari strategi perusahaannya menjalankan bisnis secara berkelanjutan. Dari sana, mereka fokus menyentuh persoalan kualitas udara dan manajemen penanganan sampah plastik dalam ekosistemnya.
"Seluruhnya. Bukan saja kami sebagai perusahaan harus lakukan, tapi juga apa yang kami bisa lakukan dan fasilitasi untuk memudahkan semua dalam ekosistem kami untuk bisa melakukan transisi bisnis lebih bertanggung jawab secara lingkungan juga," kata Tanah.
Karenanya, saat ini mereka sedang melakukan inventori karbon pertama untuk Gojek dengan melibatkan auditor. Tidak saja menghitung emisi yang secara langsung dihasilkan dari gedung kantor beserta aktivitas perusahaan, tetapi dalam susunan strategi dekarbonisasi dihitung juga jejak karbon di seluruh ekosistem mereka, misalnya dari mitra driver Gojek dan mitra usaha GoFood.
Dengan data yang dianalisa berbasis sains tersebut mereka akan benar-benar memahami "base line" emisi GRK yang dihasilkan, sehingga dapat mengidentifikasi pada bagian mana dari bisnis yang sedang mereka jalankan tersebut dapat dihindari dan dikurangi untuk mengendalikannya.
Model yang ingin mereka kembangkan salah satunya dengan memanfaatkan secara maksimal teknologi dalam platform yang sudah ada sehingga tercipta “smart delivery” untuk menghindari munculnya emisi. Lalu, untuk mengurangi emisi, Gojek sudah mulai melakukan pilot kendaraan listrik dalam ekosistemnya.
"Lalu yang tidak bisa kami hindari akan kami 'offset'," ujar Tanah menjelaskan rencana carbon offset emisi yang tidak dapat dihindari dari setiap aktivitas yang dilakukan di ekosistem mereka.
Fitur GoGreener Carbon Offset 2.0 yang dikembangkan Gojek dengan menggandeng Jejak.in dapat digunakan pengguna aplikasi mereka untuk menghitung jejak karbon yang dihasilkan selama beraktivitas dengan kendaraan bermotor.
Fitur tersebut mengalami penyesuaian selama masa pandemi COVID-19 di mana mobilitas masyarakat di luar rumah berkurang karena berganti dengan Work From Home (WFH), sehingga mereka menambahkan tools untuk menghitung jejak karbon untuk penggunaan laptop, kulkas, penyejuk udara dan televisi yang lebih relevan.
Baca juga: Intervensi BRG di lahan gambut berhasil bantu reduksi emisi karbon
Setelah mengetahui jumlah jejak karbonnya, pelanggan aplikasi Gojek dapat pula melakukan carbon offset untuk menyeimbangkan emisi GRK yang telah dihasilkan dengan menanam pohon mangrove yang dilakukan oleh tim LindungiHutan, mitra konservasi hutan GoGreener Carbon Offset.
Baru-baru ini Gojek menambah dua pilihan kota untuk melakukan carbon offset penanaman mangrove di bacth 2, yakni Semarang dan Surabaya, setelah DKI Jakarta, Kabupaten Demak dan Kota Bontang. Mereka bahkan menggandakan jumlah pohon yang ditanam pengguna GoGreener selama bulan Maret lalu.
Untuk urusan manajemen pengurangan sampah Gojek ingin mengurangi penyebaran plastik sekali pakai di ekosistemnya. Sejumlah inisiatif, menurut Tanah, sudah berjalan di mana mereka memfasilitasi mitra driver dan mitra usaha untuk membuat pilihan yang lebih peduli lingkungan, meski untuk yang satu itu tidak ada paksaan.
Seperti yang sebelumnya Tanah katakan, tentu tidak mudah menerjemahkan kebijakan iklim di level pemerintahan maupun top level sebuah perusahaan ke tingkat tapak, karena belum semua masyarakat mengerti persoalan lingkungan dan krisis iklim. Namun Gojek memilih tidak ragu melakukan investasi ke arah sana, agar benar-benar dapat menciptakan produk yang mampu memfasilitasi masyarakat merencanakan misinya sendiri memerangi krisis iklim.
Meski baru bergabung dengan perusahaan teknologi tersebut di 2020, namun berdasarkan pengalamannya bekerja sama dengan Gojek sejak 2016 saat dirinya masih ada di World Economic Forum, Tanah dapat melihat komitmen di setiap level struktur perusahaan tersebut untuk meningkatkan kualitas lingkungan mereka. Lalu bagaimana mereka memperhitungkan jejak karbonnya serta isu lingkungan dan sosial ke dalam perusahaan, mulai dari operasionalnya, kebijakannya, prosedur kerjanya yang semua terintegrasi.
Dengan tools yang juga ditujukan untuk mengedukasi masyarakat, harapannya mampu menularkan "virus" berkelanjutan, yang tentu saja diawali melalui ekosistem Gojek lalu "mewabah" ke perusahaan lain dan masyarakat yang lebih luas. Hingga akhirnya mereka secara sadar dan sukarela bersama-sama memerangi krisis iklim demi keberlanjutan hidup jangka panjang.
Bagaimanapun dampak dari krisis iklim seperti bencana hidrometeorologi semakin nyata dirasakan, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia. Kolaborasi menjadi cara paling efektif untuk menekan peningkatan suhu Bumi tidak melewati 1,5 derajat Celsius di akhir abad 21 ini.
Baca juga: Gojek beri pembaruan fitur GoGreener Carbon Offset
Baca juga: Perkuat mitigasi emisi GRK, Pemerintah nantikan dana iklim Norwegia
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021