"Saya tidak begitu yakin bahwa partisipasi publik itu benar-benar diakomodasi partai politik," kata dia di Jakarta, Rabu, dalam diskusi desentralisasi politik bertema "Menakar Kualitas Partisipasi Publik dan Kebijakan Daerah" yang digelar KPPOD.
Keraguan tersebut mulai dari perencanaan dan perumusan kebijakan, konsultasi publik hingga proses pengundangan sebuah peraturan daerah.
Sebagai contoh, lanjut dia, dalam lima tahun terakhir peraturan daerah bisa melalui inisiatif eksekutif maupun legislatif. Dalam perumusannya, baik pemerintah maupun wakil rakyat membahas secara bersama.
Baca juga: Legislator: Peningkatan partisipasi publik lewat daring dan luring
Baca juga: Puan: DPR buka partisipasi publik bahas RUU prioritas
Baca juga: Pemerintah tingkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan putusan
Namun, berdasarkan beberapa temuan CSIS, pembuatan peraturan daerah hanya sebatas proses politik saja di DPRD. Artinya, hanya diputuskan secara bersama antara legislatif dan eksekutif dan jarang sekali partisipasi publik dilibatkan penuh.
"Mungkin hanya sebatas formalitas saja," kata dia.
Kendati demikian, ia tidak menampik peraturan atau kebijakan yang betul-betul lahir dari bawah juga ada di beberapa tempat. Sebagai contoh Undang-Undang Desa.
Namun, kebanyakan hasil peraturan atau kebijakan di daerah lahir dari hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif saja.
Senada dengan itu, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Benediktus Papa mengatakan hingga saat ini sebetulnya masih banyak sekali kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Padahal, menurut dia, lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah seharusnya semakin mendekatkan antara penyelenggara pemerintah dengan masyarakat terutama dalam hal pembuatan kebijakan.
"Tapi kenyataannya seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah tidak dekat dengan masyarakat atau menimbulkan jarak yang cukup jauh," katanya.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021