Ibu Kartini telah menjadi sosok pahlawan perempuan di Indonesia berkat keberaniannya melawan penjajahan walau di tengah banyaknya keterbatasan. Namun, definisi Kartini masa kini pelan-pelan berubah. Bagi Gautama Bersaudara, menjadi Kartini masa kini berarti berani menjadi diri sendiri, mendobrak batasan-batasan yang ada, dan bisa hidup mandiri tanpa harus tergantung dengan pihak lain.
Baca juga: Jadi relawan sana-sini, raih energi dari berbagi
“Pesan dari kami untuk sesama perempuan, kita tidak perlu takut untuk mencari ilmu dan mengeksplorasi diri kita sebebas-bebasnya. Kita harus berani untuk terjun langsung dan mencoba sendiri. Banyak kok hal menarik yang bisa dijalani tanpa harus meninggalkan fitrah sebagai perempuan. Apalagi di zaman sekarang, perempuan juga jago multitasking dan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Entah itu mau jadi perempuan karir, berkarya di luar rumah, ataupun berkarya di dalam rumah, intinya lakukanlah apapun yang bikin diri kita bahagia,” ujar Diandra, Cassandra, dan Verrandra kompak.
Tiga kakak-beradik dengan profesi dan watak yang berbeda ini dipersatukan oleh kecintaan pada dunia otomotif.
Diandra Gautama mengikuti jejak ayahnya dan menjadi pembuka jalan, salah satu dari sedikit pembalap perempuan Indonesia. Menekuni hobi otomotif sejak duduk di bangku sekolah, Diandra bahkan sudah bergabung di klub mobil ketika masih di SMP kelas tiga. Ia terus berlatih sebagai pembalap touring dan puncaknya menjuarai Mercedes-Benz Club indonesia Championship 3.200cc pada tahun 2013 di Sentul. Diandra menjadikan tantangan dan kritik dari pihak luar sebagai bentuk motivasi guna mengembangkan bakat dan karir agar menjadi lebih baik. Sebagai seorang pembalap wanita, Diandra mengaku pernah dipandang sebelah mata oleh pihak lain, apalagi jika lawannya merupakan para pembalap senior.
Baca juga: Sri Mulyani ajak perempuan tiru Kartini, jadi "game changer" perubahan
"Karena mengawali balap langsung ikut di kejuaraan touring, lawannya itu pebalap-pebalap senior dan laki-laki. Di awal-awal menjuarai balap, sempat dibilang saya menang karena diberi kesempatan, dikritik juga cara mengemudinya," tutur Diandra kepada ANTARA pada 2017.
"Namun semua tantangan yang ada bagi saya adalah sebuah motivator yang baik. Semua saya jadikan motivasi untuk bisa tampil lebih baik dan optimal," kata Diandra.
Cassandra Gautama memilih jalan sebagai pekerja seni, yakni fotografer. Sedikit banyak, pilihan karirnya terpengaruh dari observasi terhadap sang ayah yang juga merupakan seorang arsitek. Secara tak sadar, ia mewarisi jiwa nyeni dari ayah.
Verrandra Gautama, yang kini menjadi chef dan berkreasi di dapur, banyak mendapatkan inspirasi dari melihat sang ibu yang jago meracik makanan menjadi kreasi nan lezat.
Tiga perempuan, tiga profesi, dipersatukan oleh kecintaan pada otomotif. Nyatanya ketiga perempuan ini selalu tampil kompak dan akur. Kuncinya, mereka tak pernah pelit mengucapkan kata “maaf” satu sama lain. Mereka pun selalu saling mendukung dan berusaha mengenal satu sama lain sebaik mungkin, sesuai ajaran dan amanat orang tua ketika mereka bertumbuh dewasa. Yang membuat unik, mereka bertiga memiliki hobi dan passion yang sama, yakni kecintaan pada dunia otomotif dan riding.
Ketiganya mengaku bahwa kecintaan mereka terhadap dunia otomotif berasal dari warisan sayang ayah yang hobi ngoprek mobil setiap minggu.
“Mengendarai motor itu ada sensasi tersendiri yang jauh berbeda dari pengalaman mengendarai mobil. Kita benar-benar merasakan feeling menyatu dengan mesin motor dan lebih ‘dekat’ dengan jalan. Itu yang bikin ketagihan dan pengin riding terus,” ungkap Diandra Gautama yang baru kembali mengaspal dalam enam bulan terakhir - setelah vakum beberapa tahun, dikutip dari keterangan resmi.
Sementara menurut Verrandra Gautama, riding sudah menjadi rutinitas yang wajib ia lakukan, minimal sekali dalam sebulan.
“Yang aku rasakan setiap kali riding, ada suntikan dopamin dan adrenalin yang bisa membuat kita semangat kembali. Riding buatku jadi momen pelepasan stres,” jelasnya.
Cassandra juga mengamini perkataan tersebut. “Dari kecil kami diajari bukan untuk mengendarai kendaraan, tapi untuk memahami dan merasakan mesinnya. Ketika menaiki motor, sensasi ini jadi lebih terasa. Kita bisa lupa sejenak dengan rutinitas sehari-hari dan bisa menikmati jalan panjang yang ada di depan. Kapanpun kita mau, kita bisa berhenti dan beristirahat. Inilah yang membuat riding dengan motor terasa menyenangkan,” kata Cassandra.
Ada satu hal yang membuat Gautama Bersaudara jatuh cinta pada dunia motor, yakni persaudaraan yang dirasakan di atas aspal. Mereka mengakui, ada ikatan solidaritas antar sesama pengendara motor, yang jarang dijumpai di komunitas mobil.
Misalnya saja seperti pengalaman Verrandra. Ia pernah riding dari Bali Selatan ke Bali Utara, namun salah satu motor temannya bermasalah di jalan. Tak lama kemudian, ada kumpulan pengendara motocross yang lewat dan langsung berhenti untuk memberikan bantuan dengan mendorong motor mogok tersebut ke bengkel terdekat. Di situlah ia merasakan, betapa kuatnya solidaritas dan empati antar pengendara motor yang membuatnya semakin menyenangi komunitas roda dua.
Baca juga: Menkominfo: Pemerintah percepat kesetaraan di sektor digital
Baca juga: Diandra Gautama jadikan tantangan sebagai motivasi membalap
Baca juga: Kisah sukses tiga wanita pengusaha mitra Sirclo
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021