• Beranda
  • Berita
  • Preeklampsia, kondisi berbahaya penyebab tertinggi kematian ibu hamil

Preeklampsia, kondisi berbahaya penyebab tertinggi kematian ibu hamil

21 Mei 2021 14:58 WIB
Preeklampsia, kondisi berbahaya penyebab tertinggi kematian ibu hamil
Ilustrasi ibu hamil (pixabay)

Ini penting, sehingga sumber racun yang berasal dari plasenta tadi dapat dilahirkan

Kehamilan merupakan kebahagiaan bagi pasangan yang menginginkan keturunan, namun tidak semua kehamilan dapat berjalan dengan lancar. Ada satu kondisi berbahaya dalam kehamilan yang meskipun cukup sering terjadi tetapi masih belum terlalu dikenal, yaitu preeklampsia.

Preeklampsia atau kondisi hipertensi (meningkatnya tekanan darah) yang terjadi pada saat kehamilan kadang dikenal juga dengan nama toxemia gravidarum atau keracunan kehamilan, yang dapat menyebabkan kejang mendadak pada kehamilan.

Pre-eklampsia sendiri merupakan kondisi sebelum terjadinya eklampsia yang merupakan komplikasi pada kehamilan yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada ibu hamil, selain pendarahan.

Baca juga: NIPT cara baru cek kelainan kromosom pada usia awal kehamilan

Meskipun penyebab pasti belum dapat dijelaskan namun preeklampsia sering dihubungkan dengan adanya permasalahan plasenta. Oleh karena itu, preeklampsia terjadi pada paruh akhir kehamilan (di atas 20 minggu) atau setelah plasenta terbentuk di dalam rahim hingga 6 minggu setelah melahirkan.

“Kami menganggap serius masalah ini dari tahun ke tahun, demikian juga para dokter kandungan di seluruh dunia. Kami berharap para ibu hamil beserta pasangan dan keluarganya juga lebih menyadari bahayanya dengan mengenali gejalanya dan terbuka pada dokter kandungannya mengenai masalah kesehatan yang dialami. Dengan demikian, diharapkan kita bersama-sama bisa lebih meningkatkan kewaspadaan dan segera bergerak (act now, screen now) untuk mencegah terjadinya preeklampsia ini,” kata Dr. dr. Agus Sulistyono, SpOG(K) KFM selaku Ketua Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya dalam webinar pada Jumat.

Berdasarkan data dari International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy dan Preeclampsia Foundation, pre-eklamsia mengakibatkan kematian lebih dari 75 ribu ibu hamil dan 500 ribu bayi setiap tahunnya. Agus Sulistyono menjelaskan bahwa hal ini berarti 1 dari 10 ibu hamil ini akan mengalami preeklampsia dan 20 persen dari yang terdampak preeklampsia ini akan berhubungan dengan terjadinya persalinan preterm atau kelahiran prematur.

Baca juga: Cegah stunting sejak masa kehamilan dengan USG rutin

Agus yang juga Ketua Penurunan Angka Kematian Ibu Surabaya menegaskan bahwa keseriusan menghadapi preeklampsia ini sangat diperlukan, karena fakta menunjukkan 99 persen tingginya angka kematian ibu terjadi di negara dengan pendapatan per kapita yang rendah. Angka Kematian Ibu (AKI) bukan hanya sebagai indikator kesehatan melainkan indikator kesejahteraan suatu negara, namun sayangnya AKI di Indonesia ini masih cukup tinggi atau sekitar 305 per 100 ribu kelahiran hidup di mana jumlah ini menjadi terbanyak kedua di wilayah ASEAN (tertinggi Laos sebesar 357 dan terendah Singapura sebesar 7).

“Diproyeksikan sekitar 14.640 Ibu hamil meninggal setiap tahunnya dan ini terjadi secara konstan. Jika kita telaah lebih dalam lagi ternyata mayoritas penyebab kematian Ibu ini adalah preeklampsia atau sekitar 33,07 persen,” kata dokter spesialis obstetri dan ginekologi dr Manggala Pasca Wardhana, SpOG(K) dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya.

Gejala dan tatalaksana

Hingga saat ini, belum ditemukan terapi atau pun obat untuk preeklampsia. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi dr Nareswari Imanadha Cininta Marcianora, SpOG dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya, menyebutkan satu-satunya cara untuk menghentikan proses hipertensi dan kerusakan organ adalah dengan melaksanakan persalinan dini atau menyegerakan persalinan.

"Ini penting, sehingga sumber racun yang berasal dari plasenta tadi dapat dilahirkan, diselesaikan dan dampak kerusakan organ ibu hamil dapat dihentikan,” kata Nareswari.

Baca juga: USG kehamilan harus sesuai jadwal, tapi boleh lebih dari seharusnya?

Meski belum dapat diterapi, namun Nareswari mengatakan bahwa preeklampsia dapat diprediksi melalui gejala seperti; memiliki riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil, memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, memiliki penyakit tertentu (diabetes, gangguan ginjal dan penyakit autoimun).

"Kemudian merupakan penderita obesitas (indeks masa tubuh kurang lebih 30 kg/m2), ada riwayat keluarga menderita preeklampsia, hamil kembar dua atau lebih, kehamilan pertama kali, jarak kehamilan terakhir lebih dari 5 tahun dan berusia diatas 40 tahun," ujar Nareswari.

Oleh sebab itu bila ibu hamil memiliki gejala-gejala tersebut sebaiknya segera melakukan screening risiko melalui tenaga kesehatan tempat pasien tersebut melakukan kontrol kehamilan (Act now, screen now).

Kebanyakan dari pasien yang mengalami preeklampsia tidak akan memberikan keluhan apa pun. Maka ibu hamil wajib memeriksakan tekanan darah secara rutin, agar mengetahui secara dini jika didapatkan hipertensi.

Baca juga: Tujuh kali, total kontrol minimal kehamilan di adaptasi kebiasaan baru

Jika ibu hamil sudah merasakan keluhan seperti pusing, pandangan kabur atau nyeri ulu hati dan sesak, umumnya kondisi ini identik dengan preeklampsia yang berat, yang kemungkinan besar berdampak pada komplikasi, kecacatan atau bahkan kematian bagi ibu dan janin.

Secara umum solusi preeklampsia pada kondisi berat adalah persalinan, sehingga seringkali persalinan harus dilakukan meski kehamilan masih berusia dini. Akibatnya timbul masalah lain yaitu meningkatnya prematuritas yang menjadi faktor utama tingginya angka kematian bayi. Beberapa penelitian juga menunjukkan dampak jangka panjang dari preeklampsia pada ibu antara lain meningkatnya risiko stroke, hipertensi, diabetes melitus, kelainan ginjal hingga kelainan jantung.

Kondisi di negara berkembang seperti Indonesia juga tidak terkecuali mendapatkan dampak yang cukup berat akibat preeklampsia. Salah satu penelitian di RS rujukan tersier Surabaya menunjukkan tingginya prevalensi preeklampsia hingga 21 persen, dan ditemukan kondisi komplikasi organ yaitu penumpukan cairan di paru–paru hingga 5,6 persen atau 2 kali lipat dari laporan negara lain.

Baca juga: Rambut-rambut lebih tebal muncul saat hamil, perlukah dicukur?

"Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan preeklampsia di negara kita masih belum baik sehingga masih sering ditemui kasus preeklampsia dalam kondisi yang sudah buruk," jelas Agus Sulistyono.

Tindakan kesehatan yang paling penting dan memiliki dampak signifikan adalah prevensi atau pencegahan. Peningkatan edukasi kesehatan di bidang kehamilan ini dapat menjadi upaya pencegahan terjadinya preeklampsia sebagai salah satu komplikasi kehamilan yang berat.

Upaya pencegahan ini akan semakin berhasil jika pengetahuan dan kewaspadaan ini juga diketahui oleh ibu hamil ataupun pasangan usia subur sehingga preeklampsia dapat dicegah dan diminimalisir dampaknya.

"Dengan memahami potensi bahaya yang dapat terjadi pada setiap kehamilan, kita bersama dapat meningkatkan kewaspadaan dan berjuang bersama untuk menurunkan angka kematian Ibu di Indonesia,” tutup Agus Sulistyono.

Baca juga: Pola makan untuk ibu hamil, ini yang boleh dan dilarang

Baca juga: Bolehkah bumil relaksasi dalam sauna?

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021