"Transformasi merupakan sebuah keniscayaan di tengah perubahan besar dalam segala lini kehidupan, termasuk diantaranya pendidikan tinggi seni. Perubahan itu mesti dihadapi dengan kecepatan dan kecermatan," kata Wagub Bali di ISI Denpasar, Ahad (20/6) malam.
Saat menghadiri diskusi kelompok terpumpun (FGD) membahas Perubahan Nomenklatur Keilmuan dan Kelembagaan ISI Denpasar tersebut untuk perubahan nomenklatur kelembagaan mengerucut usulan penggantian kata "Denpasar" menjadi "Bali".
Terkait dengan transformasi ISI Denpasar, Ketua Dewan Penyantun ISI Denpasar ini menyebut tiga hal yang bisa dijadikan landasan untuk melakukan rekonstruksi tata kelola lembaga pendidikan ini.
Baca juga: ISI Denpasar libatkan 61 tokoh susun Kurikulum Merdeka Belajar
Baca juga: ISI Denpasar-Kemenkumham teken MoU perlindungan kekayaan intelektual
Pertama, Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan kecenderungan pemanfaatan artificial intelligence (kecerdasan buatan).
Memaknai hal ini, ISI Denpasar didorong untuk mewujudkan tata kelola yang lepas dari lilitan birokrasi baik dalam mentalitas, sistem dan cara bekerja.
Landasan Kedua adalah menjalankan tugas dan fungsi secara seimbang yaitu melatih untuk membuat anak didik terampil dan profesional, mengajarkan ilmu pengetahuan untuk menjadikan mahasiswa cerdas dan mengasah sensibilitas agar peserta didik peka terhadap nilai kemanusiaan.
"Dengan menyeimbangkan ketiga tugas dan fungsi itu, ISI Denpasar akan memposisikan diri sebagai penyedia layanan pengetahuan dan sebagai pusat pengembangan budaya masyarakat," ucap pria yang biasa disapa Cok Ace itu.
Sedangkan landasan Ketiga, dalam perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat, kegiatan lembaga pendidikan ini harus kontekstual dengan program yang dicanangkan oleh Pemprov Bali.
ISI Denpasar menurut Wagub Cok Ace telah menyelesaikan milestone tahap IV yaitu pencapaian visi lama menuju visi baru yang lebih progresif dan dinamis.
"Oleh sebab itulah paradigma keilmuan dan kelembagaan ISI Denpasar perlu ditata ulang. Nomenklatur keilmuan seni baik penciptaan, pengkajian maupun penyajian harus mampu menjawab berbagai tantangan dan dimanika zaman yang selalu berubah," ujar Cok Ace yang juga Guru Besar ISI Denpasar itu.
Selain itu, karena ISI Denpasar berada dan dibesarkan di tanah Bali, perubahan nomenklatur keilmuan lebih pas jika disertai perubahan nomenklatur kelembagaan. "Nama Bali mesti dimuliakan dan terpatri dalam pemberian nama lembaga ini," ujarnya.
Diskusi Kelompok Terpumpun juga menghadirkan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Dikbudristek RI Prof Nizam, PhD dan Dirjen Pendidikan Vokasi Kementerian Dikbudristek RI Dr Wikan Sakarinto, MSC.PhD.
Prof Nizam menekankan pentingnya penguatan lembaga pendidikan seni di Nusantara, utamanya Pulau Dewata. Khusus terkait perubahan nama, ia mengingatkan agar jajaran ISI Denpasar membahasnya secara matang karena berkaitan dengan brand yang sudah mengakar di masyarakat.
Sementara Dr Wikan lebih banyak menyinggung peran lembaga pendidikan seni dalam mencetak SDM yang mampu menghasilkan karya kreatif untuk menangkal pengaruh budaya asing.
Sementara itu, Rektor ISI Denpasar Prof Dr Wayan Adnyana menyampaikan bahwa transformasi dilatarbelakangi perkembangan dan perubahan yang terjadi begitu cepat dewasa ini.
"Sebagai lembaga pendidikan tinggi, sangat penting bagi ISI Denpasar untuk beradaptasi," ujarnya.
Selain transformasi nomenklatur keilmuan, dalam perjalanannya juga mengemuka usulan perubahan nomenklatur lembaga. Gagasan perubahan nomenklatur lembaga itu didasari atas asumsi bahwa studio ISI tersebar di seluruh Bali, jadi dinilai kurang tepat menyandang nama "Denpasar".
Tiga nama yang tengah digodok yaitu Institut Seni Indonesia (ISI) Bali, Institut Seni dan Media Kreatif Indonesia (ISMKI) Bali dan Institut Seni dan Teknologi Indonesia (ISTI) Bali.
Menurutnya, transformasi nomenklatur ini masih membutuhkan pembahasan-pembahasan lebih lanjut.*
Baca juga: ISI Denpasar siapkan UTBK SBMPTN dengan protokol kesehatan ketat
Baca juga: Menteri Kelautan dan Perikanan apresiasi lukisan Prof Kun Adnyana
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021