Ia mengatakan, pajak karbon memang nantinya harus diterapkan sebagai komitmen pemerintah zero emission. Namun, perlu waktu yang tepat.
"Kalau pajak karbon ini waktunya yang perlu dipertimbangkan. Sedangkan PPN sekolah dan bahan pangan saya setuju dibatalkan," ucap Slamet dikutip dari siaran pers di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Ekonom: Potensi pendapatan pajak karbon capai Rp57 triliun
Baca juga: Pengamat sebut pajak karbon berpeluang diterapkan di Tanah Air
Saat ini, menurut dia, industri masih belum pulih karena dampak pandemi COVID-19. Salah satu contoh industri semen yang selama ini mengalami pertumbuhan minus karena terkontraksi pandemi, di sisi lain beban mereka bertambah berat karena kenaikan bahan bakar dan pasokan domestik berlebih hingga 55 juta ton. Belum lagi dengan gempuran produk semen asal China.
"Jadi, waktunya tidak tepat saat ini. Harus ditimbang-timbang, jangan malah bikin mereka susah dan ekonomi ikut susah," katanya.
Sebelumnya, anggota DPR Mardani Ali Sera juga meminta pemerintah menghitung secara matang wacana pajak karbon. Sebab, banyak industri bakal terdampak kebijakan tersebut, mulai sektor otomotif hingga produsen semen.
Mardani menyebut penghitungan secara saksama diperlukan karena industri masih terdampak pandemi.
"Harus dihitung dengan saksama. Jangan malah membunuh mereka. Artinya, siapkan dulu industrinya karena masih pandemi. Penerapan kebijakan ini mestinya justru memperkuat industri, bukan sebaliknya," kata Mardani di Jakarta, Minggu (20/6).
Baca juga: Pemerintah diminta beri insentif pajak bagi industri netral karbon
Baca juga: IESR: Indonesia perlu terapkan pajak karbon demi Paris Agreement
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021