• Beranda
  • Berita
  • PBB: Pengecualian wanita dalam keputusan ancam pemulihan pasca-COVID

PBB: Pengecualian wanita dalam keputusan ancam pemulihan pasca-COVID

8 Juli 2021 16:36 WIB
PBB: Pengecualian wanita dalam keputusan ancam pemulihan pasca-COVID
Arsip foto: Sejumlah aktivis perempuan dan Buruh Perempuan KASBI mengikuti aksi memperingati Hari Perempuan Internasional 2018 di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Kamis (8/3/2018). Aksi tersebut untuk memberi kesadaran dengan melawan ketidakadilan berbasis gender, menuntut hak dan upah layak bagi pekerja perempuan, menghentikan perkawinan anak, serta menghentikan kekerasan terhadap perempuan baik di lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan kerja. (ANTARA /Novrian Arbi)

Perempuan di sektor publik dan swasta sangat kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan.

Upaya global untuk pulih dari pandemi COVID-19 berada di bawah ancaman karena perempuan dikecualikan dari peran pengambilan keputusan yang penting, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Kamis.

Hanya 6 persen dari satuan-satuan tugas, yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan tanggapan pemerintah terhadap virus corona yang mematikan, memiliki jumlah anggota pria dan wanita yang sama. Sementara itu, 11 persen satgas tidak memiliki anggota wanita sama sekali, menurut Program Pembangunan PBB (UNDP).

"Keputusan penting yang dibuat hari ini akan memengaruhi kesejahteraan manusia dan planet ini untuk generasi yang akan datang," kata administrator UNDP Achim Steiner dalam sebuah pernyataan.

Baca juga: Google kembali dituntut karena bias gender
Baca juga: Peneliti: Diskriminasi Gender Dominan di Pedesaan


"Pemulihan berkelanjutan hanya mungkin terjadi ketika perempuan mampu memainkan peran penuh dalam membentuk dunia yang dapat ditinggali oleh kita semua pasca-COVID-19," ujarnya.

Data baru oleh UNDP dan Gender Inequality Research Lab di Universitas Pittsburgh menemukan bahwa perempuan memegang kurang dari satu dari tiga posisi kepemimpinan teratas dalam administrasi publik secara global, yang dapat membahayakan proses pemulihan hijau dan inklusif.

Sementara 58 persen karyawan di kementerian kesehatan adalah wanita, mereka hanya memegang 34 persen posisi pengambilan keputusan kebijakan kesehatan, menurut penelitian di 170 negara.

Analisis ini muncul ketika banyak negara bergulat dengan dampak ekonomi dan sosial dari COVID-19, yang menurut UNDP dapat mendorong 105 juta perempuan dan anak perempuan lainnya ke dalam kemiskinan pada 2030.

UNDP menyoroti "peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang mengkhawatirkan" dan "kehilangan besar dalam jumlah pekerjaan dan pendapatan yang mengancam akan menghambat kemajuan kesetaraan gender".

UNDP mengatakan bahwa pemerintah lebih responsif dan akuntabel serta kualitas layanan publik, khususnya dalam hal yang terkait kesehatan, pengasuhan anak dan kekerasan terhadap perempuan, meningkat secara signifikan ketika perempuan mengambil peran kepemimpinan dalam administrasi publik.

"Meskipun temuan ini mengecewakan, itu tidak mengejutkan," kata Henriette Kolb kepada Thomson Reuters Foundation.

Kolb adalah kepala kelompok inklusi gender dan ekonomi di Perusahaan Keuangan Internasional Grup Bank Dunia.

"Perempuan di sektor publik dan swasta sangat kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan. Namun, jika kita ingin menciptakan ekonomi yang tangguh, adil, inklusif, dan berkembang, kita membutuhkan semua orang untuk duduk di meja kepemimpinan," ujar Kolb.

Sumber: Thomson Reuters Foundation

Baca juga: Apple Card dituduh berlakukan diskriminasi gender

Baca juga: Utusan Malaysia: pernikahan anak berakar pada diskriminasi gender

Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021