• Beranda
  • Berita
  • Semangat "Olimpisme" Sohn Kee-chung bergema lagi dalam Olimpiade Tokyo

Semangat "Olimpisme" Sohn Kee-chung bergema lagi dalam Olimpiade Tokyo

14 Juli 2021 15:40 WIB
Semangat "Olimpisme" Sohn Kee-chung bergema lagi dalam Olimpiade Tokyo
Son Chung-in berpose bersama foto ayahnya, Sohn Kee-chung, yang menjuarai nomor maraton Olimpiade Berlin 1936, saat wawancara dengan Reuters di Yokohama, Jepang, 8 Juli 2021. ANTARA/REUTERS/Chang-Ran Kim.
Jauh sebelum dua sprinter Amerika Serikat Tommie Smith dan John Carlos mencatat sejarah lewat salut Black Power (Kuasa Kulit Hitam) dalam Olimpiade 1968, gambaran pedih lainnya mengenai protes diam terukir dalam hati nurani warga Korea yang terlupakan dunia.

Pada Olimpiade 1936 di Berlin, Sohn Kee-chung dari Korea berdiri sambil menahan malu dengan menyembunyikan bendera Matahari Terbit di dadanya dengan tanaman hias saat lagu kebangsaan Jepang memenuhi stadion untuk menghormati kemenangannya dalam nomor maraton. Momen itu membuat dirinya dipenuhi "penghinaan tak terkirakan" yang menandai awal dari sebuah bab menyedihkan dalam hidupnya, kata dia dalam otobiografinya.

Khawatir bahwa kemenangannya bakal memicu pemberontakan dari etnis Korea, Jepang yang menjajah Korea dari 1910 hingga 1945 - melarang Sohn berlomba dengan berada di bawah pengawasan ketat, dan bahkan memanfaatkan statusnya yang terkenal untuk merekrut pemuda-pemuda Korea sebagai bala tentara Jepang. Sohn menyebut mobilisasi pemuda Korea itu sebagai "penyesalan terbesar" dalam hidupnya.

Namun setelah itu, Sohn tidak memendam kebencian terhadap negara bekas penindas Korea itu dan mendedikasikan hidupnya untuk mempromosikan "Olimpisme" atau perdamaian melalui olahraga, khususnya antara Jepang dan Korea, kata putranya, Chung-in, kepada Reuters dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

“Yang dia idam-idamkan adalah kedua belah pihak mengenali apa yang terjadi di masa lalu sehingga kita tidak mengulanginya dan sebaliknya menatap ke depan,” kata Chung-in.

Baca juga: Japan Olympic Museum simpan 100 tahun warisan Olimpiade
Baca juga: IOC realokasi slot Korea Utara yang absen di Olimpiade Tokyo
Baca juga: Ibu negara AS akan hadiri pembukaan Olimpiade Tokyo



Topik tidak mengenakkan hati

Di tengah hubungan bilateral pada titik nadir saat ini yang sebagian besar akibat kekejaman masa perang, pesan Sohn tetap relevan, kata Zenichi Terashima, profesor emeritus pada Universitas Meiji di Tokyo yang menerbitkan biografi pelari itu dua tahun lalu.

Untuk semua upaya rekonsiliasi Sohn, Jepang memiliki hubungan yang canggung dengan dia dan warisannya, kata Terashima yang berbicara bersama putra Sohn.

Sohn adalah pahlawan nasional Korea Selatan, tetapi hanya sedikit warga Jepang yang pernah mendengarnya, meskipun medalinya tetap menjadi satu-satunya medali emas Olimpiade dari nomor maraton putra di Jepang.

Hanya pengunjung museum Olimpiade baru di Tokyo yang bermata elanglah yang bisa melihat dua hal yang dimaksud Sohn: satu saat tampil sebagai peraih medali emas Jepang dan satu lagi sebagai pembawa obor Olimpiade untuk Olimpiade Seoul pada 1988 yang ditampilkan sebagai pelari kirab obor Olimpiade terakhir.

"Dia adalah topik yang tidak nyaman di Jepang," kata Terashima yang mengaku terdorong mempublikasikan kisah hidup Sohn di tengah apa yang dia anggap sebagai kebangkitan revisionisme sejarah di kalangan elit konservatif Jepang.

Baca juga: Presiden IOC tetap akan kunjungi Hiroshima meski tuai protes
Baca juga: Gubernur Tokyo jamin sistem medis siap untuk Olimpiade
Baca juga: Medali hingga podium, cara panitia gelar Olimpiade ramah lingkungan



Ranting zaitun

Sohn menghindari politik dan memperluas ranting zaitun (simbol perdamaian) di mana pun dia melihat peluang.

Ketika pelari Jepang Shigeki Tanaka memenangkan maraton Boston pada 1951, Sohn mengiriminya pesan ucapan selamat dengan menyebut kemenangan sang atlet sebagai "kemenangan Asia", kata putranya. Dia tak mau menggunakan namanya dalam pelafalan Jepang, Son Kitei, yang menjadi bukti keras dia orang yang teguh menggunakan bahasa Korea bahkan pada 1936.

Seharusnya itu momen yang pahit. Tahun sebelumnya, Sohn melatih tim Korea yang menyapu tempat pertama, kedua dan ketiga dalam lomba, hanya untuk ditolak masuk pada 1951 saat Perang Korea berkecamuk.

Dalam Olimpiade Seoul 1988, Sohn diam-diam berencana memberikan replika helm Korintus kuno yang diberikan kepadanya sebagai pemenang maraton Berlin kepada seorang pelari Jepang seandainya memenangkan medali, kenang putranya.

Sohn gembira sekali saat Jepang dan Korea Selatan menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia FIFA 2002. Dia memerintahkan putranya untuk membantu menyukseskannya sehingga "masa lalu biarlah menjadi masa lalu demi awal yang baru", kata Chung-in. Sohn meninggal dunia beberapa bulan setelah kejadian itu.

Mencairnya hubungan bilateral ternyata hanya singkat, tetapi "ayah saya meninggal dunia dalam bahagia," kata Chung-in.

Dinginnya diplomatik saat ini tumpah juga ke Olimpiade dalam bentuk perselisihan teritorial mengenai penyebutan serangkaian pulau, baik dalam Olimpiade Pyeongchang pada 2018 maupun Olimpiade tahun ini.

Tapi Terashima mengatakan "Olimpisme" yang dimajukan Sohn berkembang pesat dalam aktivisme Naomi Osaka saat ini dan persahabatan lintas batas yang dijalin dua atlet speedkate Nao Kodaira dan Lee Sang-hwa, yang pelukan emosionalnya setelah lomba mereka di Pyeongchang, terbungkus dalam bendera Jepang dan Korea.

"Ayah saya suka bilang bahwa dalam perang, tak peduli Anda menang atau kalah, kalau peluru sudah mengenai Anda, Andalah yang mati," kata Chung-in. "Tapi dalam olahraga, sekalipun Anda kalah, Anda masih bisa berkawan.

Baca juga: Hotel Tokyo minta maaf soal tanda lift "khusus orang Jepang"
Baca juga: Olimpiade tanpa penonton penyesalan semua pihak, kata Presiden IOC
Baca juga: Minat dunia ikuti Olimpiade Tokyo meredup

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Bayu Kuncahyo
Copyright © ANTARA 2021