Ia berharap Rancangan Perda (Raperda) tentang Pengendalian COVID-19 yang diajukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak boleh pandang bulu dan tidak tebang pilih terhadap segala bentuk tindakan yang melanggar aturan Penanggulangan Pandemi COVID-19.
"Artinya tidak pandang bulu dan tidak tebang pilih, yang salah tentu harus mendapat hukuman sesuai Perda tersebut. Kalau soal bunyi pasal per pasalnya saya belum tahu detail, karena draf nya belum sampai ke anggota Dewan," ujar Thopaz dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dalam pandangan Thopaz secara pribadi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengendalian COVID-19 karena menilai kurangnya aturan sanksi yang tegas untuk orang-orang yang melanggar peraturan penanggulangan COVID-19. Karena itu, muncul ide untuk merevisi sanksi pidana dalam Perda Pengendalian COVID-19 tersebut.
"Namun yang paling penting, saya berharap revisi Perda ini bisa lebih baik dan berlaku adil untuk semua lapisan masyarakat," ujar Thopaz.
Baca juga: Pasal pidana dalam perda dinilai memperpanjang proses hukum pelanggar
Terkait sanksi pidana yang ingin diperkuat Pemprov DKI dalam revisi Perda tersebut, Thopaz menilai itu sangat tepat diterapkan, jika pemerintah mau menanggung kemaslahatan hidup rakyat banyak terlebih dahulu.
Dengan kata lain, Rancangan Perda tentang Pengendalian COVID-19 harus mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 pasal 55. Intinya, negara harus hadir dalam kesulitan dan kerumitan masyarakat Indonesia, baru pemerintah punya hak menerapkan regulasi-regulasi yang ketat maupun mengandung unsur pidana.
Thopaz menjelaskan bahwa Rancangan Perda tersebut nantinya dibahas terlebih dahulu di DPRD Provinsi DKI Jakarta bersama pimpinan DPRD Provinsi DKI. Nanti baru diputuskan secara bersama-sama dengan Pemprov DKI Jakarta.
"Jika memang dinilai tidak ada perbaikan dan sudah cukup maka akan disahkan bersama-sama dengan Pemprov DKI," kata Thopaz pula.
Meski begitu, Thopaz meminta negara atau pemerintah daerah juga jangan hanya mengurusi sanksi terhadap para pelanggar aturan. Melainkan juga harus ada langkah nyata dalam membantu ekonomi masyarakat yang terdampak.
Baca juga: Draf Perda Pengendalian COVID DKI dibahas dulu di Bapemperda
Jangan sampai pemerintah menghukum rakyat menggunakan undang-undang atau perda, namun ketika membantu rakyatnya tidak berdasarkan undang-undang atau perda.
Ia mencontohkan, jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018, bisa saja pemerintah pusat melakukan karantina wilayah di zona-zona penyumbang COVID-19 terbesar untuk memutus rantai penularan wabah tersebut.
Tapi pemerintah memilih menggunakan istilah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Skala Mikro ataupun PPKM Darurat.
Namun bila mengacu pada UU tersebut, pasal 55 menyatakan bahwa selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.
"Nah pertanyaan berikutnya kan Pemerintah berani atau tidak mengambil langkah (sesuai undang-undang) itu?" ujar Thopaz.
Baca juga: DKI apresiasi Raperda Penanggulangan COVID-19 selesai tepat waktu
Ia mengatakan peraturan perundang-undangan dengan aturan yang tegas memang diperlukan, tapi masyarakat juga berhak mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah pusat maupun daerah.
Menurut Thopaz, sulit untuk menyuruh rakyat diam di rumah jika hanya mengandalkan aturan yang tegas saja. Namun negara perlu hadir untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup rakyatnya ketika diminta berdiam di rumah.
"Negara harus hadir di tengah-tengah kesusahan rakyatnya," kata Thopaz.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021