Tiga yang terakhir disebut sudah memperoleh tiga medali Olimpiade Tokyo 2020 yang salah seorang di antaranya, Thompson-Herah, menyabet emas 100m putri di Stadion Nasional yang menjadi arena utama Tokyo 2020.
Bukan Tokyo 2020 saja, dari arena ke arena, sprinter-sprinter Jamaika senantiasa merajai dunia. Mengapa negara pulau seluas 11.000 km persegi atau hampir seluas Gorontalo dan berpenduduk 2,7 orang atau hampir sama banyak dengan jumlah penduduk Sulawesi Tenggara itu begitu menguasai lari jarak pendek dunia?
Ada anggapan setengah guyon bahwa rahasia Jamaika rutin menghasilkan sprinter-sprinter kelas dunia adalah ubi. Iya ubi, yang di Indonesia lebih sering dijadikan keripik atau kolak ketika puasa Ramadan tiba.
Menurut sejumlah peneliti, stimulan hyposteroid yang terkandung dalam ubi yang mudah sekali ditemukan Jamaika, adalah faktor yang membuat pelari Jamaika merajai trek dan lintasan dunia mengalahkan pelari-pelari dari negara-negara maju yang memiliki pola latihan, fasilitas dan teknologi tinggi untuk membantu manusia berlari lebih cepat dari waktu ke waktu.
Tetapi menurut sprinter Yohan Blake bukan itu alasannya. Dia malah menunjuk tekad besar orang Jamaika menjauhi kemiskinan yang justru membuat pelari-pelari jarak pendek Jamaika berlari lebih kencang. Cabang olah raga lari adalah harapan yang bisa menyulap nasib mereka.
Baca juga: Blake raih penghargaan atlet atletik terbaik Jamaika
“Ketika kami kecil dulu kami menghabiskan waktu di luar rumah, mengejar-ngejar mobil,” kata Blake seperti dikutip laman Firstpost.
Dan wahana untuk melarikan diri dari kemiskinan itu adalah kompetisi lari tingkat sekolah menengah atas yang disebut Inter-Secondary Schools Boys and Girls Championships yang lebih umum dikenal dengan ‘Champs’.
“Champs adalah awal dari semua ini. Turnamen ini mengubah Anda dari anak-anak menjadi orang dewasa. Ini salah satu kejuaraan tingkat SMA terbesar di dunia. Jika Anda mengikutinya maka Anda akan menyaksikan pelari-pelari sekaliber Bolt, Fraser-Pryce, Veronica Campbell, Elaine Thompson. Semua pelari ini muncul dari Champs,” kata Blake kepada Firstpost.
Kompetisi ini sudah ada sejak 1910 setiap tahun selama empat hari di Stadion Nasional di Kingston, ibukota Jamaika. Kendati hanya tingkat SMA, turnamen ini menarik perhatian puluhan ribu orang dan diliput oleh televisi dan media. Pada akhirnya, kompetisi ini menjadi kawah candradimuka untuk para pelari dalam membiasakan hidup di bawah sorotan dan tekanan publik.
Tahun lalu Champs ditiadakan gara-gara pandemi, namun kemudian digelar lagi tahun ini. Para pencari bakat dari Amerika Serikat sering menyambangi Champs sembari menawarkan beasiswa kepada mereka yang paling potensial.
Baca juga: OLIMPIADE 2016 - McLeod rebut emas 110m halang rintang untuk Jamaika
Selanjutnya detak jantung ...
Detak jantung atletik Jamaika
“Berkompetisi di Champs mengajari saya soal menang dan kalah. Kompetisinya sendiri mengesankan. Anda melawan yang terbaik, tak hanya saat final,” kata Blake.
Usain Bolt sendiri, dalam otobiorafinya “Faster Than Lightning”, menyebut Champs ‘detak jantung keberhasilan atletik Jamaika.”
Saking pentingnya, sekolah-sekolah berlomba mencari bakat muda yang bisa mewakili mereka dalam Champs dan meraih medali. Begitu sekolah mendapatkan bakat yang diincarnya, maka sang bakat akan ditawari beasiswa pendidikan.
Faktor lainnya di balik sukses atletik Jamaika adalah pelatih. Berkat mantan perdana Michael Manley, Jamaika mempunyai GC Foster College of Physical Education and Sports sejak 1980. Di sini, pelatih-pelatih terbaik dihasilkan, yakni pelatih yang bisa mencari dan mengasah sprinter-sprinter berbakat.
Tetapi sebelum era itu pun Jamaika kaya dengan sprinter kelas dunia. Sebelum merdeka dari Inggris pada 1962, sprinter-sprinter mereka memenangkan medali Olimpiade London 1948 dan Olimpiade Helsinki 1952. Di London, Arthur Wint menjadi pelari pertama Jamaika yang memenangkan emas Olimpiade nomor 400m, sedangkan Leslie Laing, Herb McKenley, dan George Rhoden memecahkan rekor dunia saat memenangkan medali emas estafet 4x400m di Helsinki.
Sejak era Bolt, dominasi atletik Jamaika itu kian besar. Tetapi sayang sudah tak ada Bolt di Tokyo 2020, pun tak ada sprinter putra Jamaika yang masuk 10 besar dalam peringkat 100m dan 200m.
Baca juga: Usain Bolt percaya diri rekornya tak akan patah di Olimpiade Tokyo
Tapi tidak demikian halnya dengan sprinter putri yang lebih siap membuat gebrakan di Tokyo. Di sektor ini, ada Fraser-Pryce yang saat ini sprinter putri nomor satu dunia, lalu Thompson-Herah dan Jonielle Smith yang masuk 10 besar. Thompson-Herah adalah peraih dua medali emas Olimpiade Rio 2016 pada nomor sprint 100m dan 200m.
Masih ada nama-nama besar seperti Shericka Jackson, Stephenie-Ann McPherson, Candice McLeod, Megan Tapper, Britany Anderson, Briana Williams, Yohan Blake, Demish Gaye, Ronald Levy, Damion Thomas dan Hansle Parchment.
Jamaika sendiri mengirimkan 61 atlet ke Tokyo 2020 yang khususnya memburu medali lari jarak pendek mulai 100m, 200m, 400m, estafet 4x100m, estafet 4x400m, dan 110m lari gawang, sampai nomor baru estafet 4x400m campuran.
Di luar itu, ada segelintir atlet yang dipasang berlomba pada nomor lari 800m, 1.500m, lompat jauh, lompat jangkit, tolak peluru, dan lempar cakram.
Baca juga: Bolt khawatirkan masa depan atletik Jamaika
Baca juga: Bolt dihargai masyarakat Jamaika bukan hanya karena kecepatannya
Selanjutnya Herah vs Pryce
Thompson-Herah vs Fraser-Pryce
Sampai hari keempat atletik Olimpiade Tokyo ini pada Senin 2 Agustus, Jamaika menduduki urutan ketiga di bawah Italia dan AS dalam klasemen medali atletik Tokyo 2020 setelah mengumpulkan 1 medali emas, 1 medali perak, dan 2 media perunggu.
Uniknya, keempat medali ini disabet oleh pelari-pelari putri. Mereka adalah Thompson-Herah, Fraser-Pryce dan Shericka Jackson yang masing-masing meraih emas, perak dan perunggu sprint 100m putri.
Thompson-Herah yang juga juara 100m Olimpiade Rio mencatat waktu 10,61 detik atau hanya 0,01 detik lebih lambat dari rekor Olimpiade yang sudah 33 tahun dipegang oleh legenda sprint putri AS yang eksentrik Florence Grifith Joyner yang sering disapa Flo-Jo. Flo-Jo juga masih memegang rekor dunia 10,49 detik.
Dengan catatan waktu mendekati Flo-Jo itu, Thompson-Herah menjadi perempuan tercepat kedua di dunia sepanjang masa.
Baca juga: Jamaika sapu medali 100m putri, Thompson-Herah dekati rekor Flo Jo
Satu perunggu lainnya dipersembahkan oleh Megan Tapper dari nomor 100m lari gawang putri yang finis di belakang Jasmine Camacho-Quinn dari Puerto Rico yang meraih emas dan Kendra Harrison dari AS yang memperoleh medali perunggu.
Pada 100m putra yang dulu dirajai Usain Bolt yang hingga kini memegang baik rekor Olimpiade maupun rekor dunia nomor ini, andalan mereka Yohan Blake tak masuk final.
Nomor ini dimenangkan oleh Lamont Marcell Jacobs dari Italia yang menorehkan catatan waktu 9,80 detik, sedangkan medali perak jatuh kepada sprinter AS Fred Kerley yang membukukan waktu 9.84 detik, sedangkan Andre de Grasse dari Kanada mendapatkan perunggu 9.89 detik.
Tetapi tak apa, Jamaika masih memiliki stok pelari yang bisa merebut medali-medali lainnya, seperti pada beberapa nomor lari jarak pendek yang diadakan hari ini.
Baca juga: Fraser-Pryce raih gelar juara dunia keempat 100 meter
Di antaranya adalah final 200m putri di mana Thompson-Herah kembali adu cepat dengan rekannya Fraser-Pryce, selain dengan sprinter putri AS Gabrielle Thomas dan pelari Bahama Shaunae Miller-Uibo.
Juga dalam final 800m putri Jamaika akan mengandalkan Natoya Goule untuk meraih medali yang kalau perlu medali emas karena dia memiliki catatan terbaik kedua setelah pelari AS Athing Mu saat semifinal.
Masih ada nomor-nomor lain yang mereka ikuti dalam penyisihan hari ini. Mari kita saksikan apa hasilnya nanti.
Baca juga: Gagal tes zat terlarang, sprinter Okaghare terdepak dari Olimpiade
Baca juga: Marcell Jacobs rebut emas lari 100m putra Olimpiade Tokyo
Baca juga: Kritik pelatih, sprinter Belarusia dipulangkan paksa sebelum tanding
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2021