Terlebih lagi dengan munculnya varian baru dari penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu, sehingga kita masih belum bisa lepas dari masker dan tetap harus menjalankan protokol kesehatan dengan ketat bahkan membatasi berbagai aktivitas di luar rumah.
Varian delta dikhawatirkan akan memberikan dampak yang lebih meluas kepada masyarakat karena daya paparannya yang cepat. Alhasil pemerintah terpaksa menjalankan kebijakan pembatasan dalam berbagai aktivitas masyarakat yang berdampak pada ekonomi.
Sebagai antisipasi, terutama dari dampak ekonomi yang disebabkan pandemi, Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga mengambil langkah untuk menambah alokasi anggaran perlindungan sosial bagi warga miskin yang terdampak.
Langkah tersebut juga sebagai upaya percepatan pemulihan sosial dan ekonomi nasional.
Berdasarkan laman Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, program perlindungan sosial merupakan salah satu cara pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat miskin dan rentan agar mampu menjangkau kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, kesehatan maupun kebutuhan dasar lainnya.
Dalam pidato penyampaian RAPBN Tahun Anggaran 2022 dan Nota Keuangan pada Rapat Paripurna DPR-RI Tahun Sidang 2021-2022, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin, Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp427,5 triliun dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022.
Hal ini menunjukkan langkah tegas pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat miskin dan rentan, terutama yang semakin terpuruk akibat pandemi.
Presiden Joko Widodo mengatakan anggaran tersebut dipakai untuk membantu masyarakat miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
"Dalam jangka panjang diharapkan akan mampu memotong rantai kemiskinan," kata Presiden Joko Widodo yang mengenakan pakaian adat Baduy dalam acara kenegaraan tersebut.
Baca juga: Pemerintah alokasikan anggaran perlindungan sosial Rp427,5 triliun
Sejak awal pandemi terjadi pada 2020, pemerintah telah menyalurkan berbagai bantuan sosial sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat terutama akibat pembatasan kegiatan yang berimplikasi pada ekonomi, semakin banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Program tersebut diharapkan bisa menghindarkan masyarakat dari berbagai resiko kemunduran sosial, seperti akibat pandemi COVID-19.
Bantuan sosial tersebut yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Diskon Listrik, Subsidi Gaji, Bantuan Produktif Usaha Mikro, Bantuan Sosial Tunai, BLT Dana Desa dan Program Kartu Pra Kerja.
Dalam menyalurkan bansos, pemerintah berpegang pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), namun karena pandemi yang berdampak masif dan cepat, sementara sebelumnya masih ada pemerintah daerah yang belum memperbarui data warganya dalam DTKS.
Hal ini yang menyebabkan permasalahan dalam penyaluran bansos yang masih terjadi tidak tepat sasaran. Namun pemerintah terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan DTKS dan reformasi program perlindungan sosial.
Untuk itu, Presiden menambahkan untuk mendukung reformasi program perlindungan sosial, maka pemerintah akan melanjutkan penyempurnaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan menyinergikan dengan berbagai data terkait.
Penyelarasan data tersebut guna mendukung reformasi perlindungan sosial secara bertahap dan terukur, mendukung Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja, serta peningkatan kualitas implementasi perlindungan sosial dan pengembangan skema perlindungan sosial adaptif.
Baca juga: Survei CSIS: 96,8 persen responden puas dengan Program Kartu Prakerja
Langkah Tegas
Alokasi anggaran perlindungan sosial pada 2022 yang meningkat dibandingkan 2021 yang ditetapkan sebesar Rp408,8 triliun itu dinilai sebagai langkah tegas pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Pengamat kebijakan publik Yanuar Nugroho menilai dari perspektif kebijakan publik maupun ekonomi politik, menunjukkan ketegasan pemerintah berpihak pada mereka yang selama ini miskin dan menderita ketidakadilan dengan bansos.
"Bansos harus dikencangkan, sehingga orang tidak jatuh pada kemiskinan ekstrem," kata dia.
Namun mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019 itu menekankan pentingnya reformasi birokrasi dalam hal penyaluran bansos agar tepat sasaran. Hal itu pula yang menjadi tantangan pemerintah agar mendorong reformasi birokrasi.
Kebijakan yang diambil pemerintah untuk meningkatkan perlindungan sosial sudah benar dan merupakan bentuk komitmen untuk menurunkan kemiskinan.
Selain itu, insentif ekonomi sektor informal, khususnya pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebagai bentuk komitmen menurunkan angka kemiskinan di Indonesia akibat pandemi COVID-19.
Dua hal tersebut dapat menjadi strategi ke depan pemerintah, dan menjadi penting agar dapat hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19.
Pada 2022, pemerintah menargetkan tingkat pengangguran terbuka 5,5 - 6,3 persen dan tingkat kemiskinan ada pada kisaran 8,5 - 9,0 persen dengan penekanan pada penurunan kemiskinan ekstrem.
Selanjutnya, tingkat ketimpangan rasio gini berada di kisaran 0,376-0,378 dan indeks pembangunan manusia pada kisaran 73,41-73,46.
Perlindungan sosial menjadi payung bagi masyarakat miskin dan rentan untuk bisa tetap melanjutkan kehidupan mereka di tengah pandemi yang entah kapan berakhir.
Upaya pemerintah perlu didukung semua pihak agar pandemi segera berakhir dan kehidupan masyarakat bisa kembali normal.
Tentunya masyarakat dapat mendukung pemerintah dengan menerapkan protokol kesehatan ketat sehingga dapat memutus rantai penularan COVID-19.
Baca juga: Pengamat: Penyempurnaan DTKS jadi kunci penyaluran perlindungan sosial
Baca juga: Pengamat harapkan fokus belanja perlinsos 2022 kepada pekerja informal
Baca juga: Menko Airlangga pastikan perlindungan sosial masyarakat sudah berjalan
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2021