"Olimpiade sudah selesai, tingkat kegembiraan saya kepada Paralimpiade bertambah besar dari waktu ke waktu, saya tak sabar menyaksikan 4.400 atlet Paralimpiade terbesar di dunia menjadi pusat perhatian," kata Presiden Komite Paralimpiade Internasional (IPC) Andrew Parsons dalam laman Paralimpiade Tokyo 2020.
Bukan hanya Parsons yang tak sabar. Pun demikian dengan miliaran manusia di planet ini. Bakal ada nuansa lebih, ketika atlet-atlet difabel berkompetisi di segala arena.
Ekspektasi itu bahkan membuat Parsons memperkirakan, "Paralimpiade Tokyo 2020 berpotensi menjadi game-changer (pengubah keadaan menjadi lebih baik) tak hanya untuk Jepang tapi juga dunia secara lebih luas, khususnya 1,2 miliar penyandang disabilitas yang merupakan 15 persen dari penduduk dunia."
Paralimpiade memang bukan sekadar kompetisi. Ini jauh lebih tinggi dari sekadar berlomba menunjukkan siapa yang lebih cepat (citius), lebih tinggi (altius), dan lebih kuat (fortius).
Baca juga: Kirab obor Paralimpiade dimulai di Tokyo
Kalau profesionalisme dan nasionalisme menguji kesetiaan manusia kepada tiga nilai Olimpiade yang meliputi keunggulan, persahabatan dan rasa hormat, maka para paralimpian bisa disebut menjunjung ketiga nilai itu sampai selaras dengan hakikat kalimat inspiratif dari pendiri Olimpiade modern, Baron Pierre de Coubertin.
"Yang penting adalah bukan soal menang, melainkan berperan serta," kata de Coubertin. "Yang penting dalam hidup bukan soal menang, melainkan perjuangan; yang penting dalam hidup bukan tentang menaklukkan tapi berjuang keras."
Oleh karena itu, lebih dari sekadar medali, Paralimpiade adalah pengingat tentang apa yang mampu disumbangkan kaum penyandang disabilitas kepada masyarakat sehingga menghadirkan kesetaraan dan rasa hormat.
Olahraga untuk atlet difabel ini sendiri sudah ada lebih dari 100 tahun silam, tepatnya di Berlin pada 1888 ketika di sana sudah ada klub-klub olahraga khusus kalangan tuna rungu.
Namun kompetisi besar olahraga untuk kaum difabel seperti Paralimpiade baru ada setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Ini diawali dari gagasan Dr. Ludwig Guttmann yang membuka pusat perawatan cedera akibat perang di Rumah Sakit Stoke Mandeville di Inggris.
Di rumah sakit itu pemulihan pasien tak cuma dengan cara-cara medis, melainkan dengan olahraga rekreatif yang lama kelamaan menjadi olahraga kompetitif.
Pada 29 Juli 1948, tepat ketika Olimpiade London 1948 dibuka, Dr. Guttmann menggelar kompetisi pertama khusus atlet-atlet berkursi roda yang dia namai Stoke Mandeville Games yang diikuti 16 prajurit yang cacat karena perang. Dan inilah momen awal yang mendorong hadirnya Paralimpiade.
Baca juga: Kaisar Jepang akan hadiri upacara pembukaan Paralimpiade Tokyo
Baca juga: Atlet Afghanistan minta pertolongan agar bisa ke Paralimpiade Tokyo
Selanjutnya teladan dan inspirasi
Teladan dan inspirasi
12 tahun kemudian dalam Olimpiade Roma 1960, Stoke Mandeville Games menjadi Paralimpiade yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Paralympic Games. Pesertanya, 400 atlet dari 23 negara.
Sejak dari Roma itulah, setiap empat tahun sekali, setiap setelah Olimpiade selesai, digelar Paralimpiade. Sedangkan Paralimpiade Musim Dingin baru diadakan pada 1976.
Namun baru setelah Olimpiade Seoul 1988 dan Olimpiade Musim Dingin di Albertville, Prancis, pada 1992, Olimpiade dan Paralimpiade diadakan di kota atau tempat yang sama.
Seiring waktu, semakin banyak cabang olahraga yang diikutkan dan dengan itu pula kian banyak organisasi cabang olahraga difabel yang terlibat. Maka, muncul aspirasi menaungi semua itu.
Akhirnya pada 22 September 1989, Komite Paralimpiade Internasional (IPC) didirikan sebagai organisasi nirlaba internasional yang berpusat di Dusseldorf, Jerman, dengan fungsi sebagai badan pengelola global Gerakan Paralimpiade.
Baca juga: Tanpa penonton, Paralimpiade Tokyo diyakini gaet miliaran pemirsa
Kata 'paralimpiade' sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni "para" yang artinya di samping atau selain dari, dan "Olympic" atau Olimpiade.
Artinya, Paralimpiade adalah event olahraga yang diadakan beriringan dengan Olimpiade. Pesannya, kedua gerakan olahraga ini hidup berdampingan.
Dan kali ini, sama dengan Olimpiade Tokyo 2020 lalu, seperti disebut Parsons, Paralimpiade Tokyo 2020 berpotensi menjadi game-changer. Dan ini bukan melulu soal kesetaraan, namun juga bagaimana umat manusia meneladani dan menarik inspirasi dari kaum difabel, khususnya dari kegigihan dalam melawan keterbatasan yang pantas memunculkan rasa hormat dari yang lain.
Anda menepak shuttlecock dengan tubuh tak kekurangan apa pun, mungkin hanya soal teknis, tubuh yang lelah dan kondisi psikologis yang membuat Anda tak bisa tampil meyakinkan.
Tetapi akan lebih berat lagi jika kendala yang dihadapi itu tidak hanya itu. Bagaimana jika kendala itu masih ditambah dengan gangguan perkembangan kaki kanan yang tak bisa tumbuh sempurna dan tetap mengecil sejak usia dua tahun seperti dialami atlet parabadminton Ukun Rukendi.
Ukun adalah salah satu dari tujuh atlet parabadminton Indonesia yang bakal bertanding pada Paralimpiade Tokyo 2020. Ukun juga harus bertarung melawan usia yang saat ini sudah menginjak 51 tahun.
Baca juga: Raihan perak Ukun disambut gemuruh penonton
Selanjutnya manusia tangguh
Manusia-manusia tangguh
Tetapi apa pun yang dihasilkan Ukun di Tokyo nanti, satu hal yang pasti, dia mengajarkan manusia, tak hanya sesama atlet, untuk tidak menyerah melawan keadaan tersulit sekalipun.
Tak kenal kata menyerah juga menjadi prinsip hidup Jaenal Aripin. 18 tahun silam, kini dia berusia 33 tahun, Jaenal kehilangan kedua kakinya setelah kecelakaan yang menimpa motor yang dikendarainya dengan sebuah truk batu bara 25 ton di Bandung.
Jaenal pantang meratapi nasib, sebaliknya bagi dia hidup harus berlanjut, the show must go on.
Baca juga: Jaenal dan Hanik bawa bendera Indonesia di defile Paralimpiade Tokyo
Bersama kursi rodanya, dia kemudian berkenalan dengan atletik hingga menjadi salah satu atlet andalan Indonesia dari nomor sprint kursi roda, bahkan pada World Para Athletics Grand Prix Tunisia 2019, dia menyabet medali emas.
Kisah tangguhnya manusia menghadapi rangkaian kendala hidup juga pengisi babak kehidupan powerlifter andalan Indonesia, Ni Nengah Widiasih yang biasa disapa Widi.
Widi sejak kecil harus hidup dalam kursi roda karena kedua kakinya lumpuh.
Sudah 28 tahun usianya dan sepanjang tahun itu dia bertarung melawan keterbatasan tapi justru telah menguakkan kualitas hidup dan semangatnya yang layak diteladani siapa pun.
Baca juga: Ni Nengah Widiasih jadi sorotan dan favorit di Paralimpiade Tokyo
Tokyo 2020 adalah Paralimpiade ketiganya setelah London 2012 dan Rio 2016. Di Rio, Widi menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang meraih medali, tepatnya dari nomor 41kg putri setelah membuat angkatan 95kg untuk menyabet medali perunggu.
Medali-medali lainnya sudah dia kumpulkan dari banyak kejuaraan, termasuk European Championship 2018 di Prancis dan Piala Dunia Powerlifting 2019 di Hungaria.
"Saya berharap bisa menampilkan yang terbaik meskipun harus berlomba di tengah pandemi COVID-19," kata Widi dalam laman paralympic.org mengenai tekadnya selama Paralimpiade Tokyo 2020.
Tak ada yang meragukan tekad Widi, juga atlet-atlet difabel Indonesia lainnya, termasuk Ukun dan Jaenal. Lagi pula, sebelum ini pun mereka sudah menunjukkan tekad membaja melawan keterbatasan yang malah memperlihatkan kualitas diri mereka sebagai manusia-manusia tangguh yang mutlak mendatangkan rasa hormat dari yang lain.
Dan cara mereka bertanding atau berlomba dalam Paralimpiade Tokyo 2020 nanti bakal menjadi inspirasi bagi rekan-rekan sebangsanya yang kebanyakan tengah dihimpit kesulitan hidup akibat pandemi yang tidak selesai-selesai.
Tak hanya mereka, atlet-atlet difabel seluruh dunia yang datang ke Tokyo itu pun bakal menjadi teladan dan inspirasi untuk negaranya masing-masing yang seperti Indonesia tengah disusahkan oleh pandemi COVID-19.
Baca juga: Indonesia kirim atlet terbanyak sepanjang sejarah di Paralimpiade
Baca juga: Target lima medali di Paralimpiade Tokyo penuh perhitungan
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2021