Dari berbagai literatur yang diketahui, dinamika kependudukan di suatu wilayah ditunjukkan dengan perubahan tingkat kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Ini akan berdampak pada perubahan 'replacement fertility' di wilayah tersebut
Deputi Bidang Pelatihan Penelitian dan Pengembangan Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof Muhammad Rizal Martua Damanik mengatakan tidak mudah untuk bisa mewujudkan demografi penduduk tumbuh seimbang di Indonesia.
“Dari berbagai literatur yang diketahui, dinamika kependudukan di suatu wilayah ditunjukkan dengan perubahan tingkat kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Ini akan berdampak pada perubahan 'replacement fertility' di wilayah tersebut,” katanya dalam webinar bertajuk “Kajian Penduduk Tumbuh Seimbang 2024” secara daring di Jakarta, Senin.
Ia mengemukakan berdasarkan hasil survei dan data Sensus Penduduk, angka fertilitas dinamika kependudukan di Indonesia mengalami penurunan dari sebesar 2,6 per wanita pada periode Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2012 menjadi 2,4 anak pada SDKI 2017.
Walaupun telah mengalami penurunan, kata dia, kelahiran yang tinggi di masa lalu menyebabkan jumlah penduduk di Indonesia masih bisa terus tumbuh atau biasa dikenal dengan kondisi "population momentum".
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2020, penduduk Indonesia telah berjumlah 270,020 juta jiwa. Bila dibandingkan dengan hasil 10 tahun sebelumnya, terdapat penambahan penduduk sebanyak 32,65 juta jiwa atau rata-rata 3,26 juta per tahun.
Ia menjelaskan penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk usia produktif yang meningkat dari 66,1 persen pada Sensus Penduduk tahun 2010 menjadi 70,7 persen pada tahun 2020.
Selain itu, persentase penduduk lansia juga meningkat dari 7,59 persen pada 2010 menjadi 9,78 persen di tahun 2020.
“Perubahan struktur umur penduduk ini menuntut kesiapan kita untuk menyediakan apakah itu pendidikan, lapangan pekerjaan bagi penduduk usia produktif,” katanya.
Pada saat yang sama, kata dia, pemerintah perlu memastikan jaminan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial bagi penduduk lanjut usia (lansia).
Ia berharap dengan melihat dinamika kependudukan di Indonesia, para ahli mampu memberikan masukkan kepada pihaknya yang sesuai dengan kondisi saat ini.
“Kami mengharapkan kajian dan masukkan mengenai replacement fertility yang sesuai dengan kondisi sosial dan demografis di Indonesia saat ini. Untuk mencapai penduduk tumbuh seimbang baik jangka pendek maupun jangka panjang,” kata Muhammad Rizal Martua Damanik .
Sementara itu Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani mengatakan pada awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020, sebenarnya angka fertilitas di Indonesia telah mencapai 2,1.
Namun, karena angka kelahiran total (TFR) yang ditunjukkan oleh data SDKI masih menunjukkan angka yang tinggi, maka pihaknya melakukan beberapa langkah penyesuaian.
“Kita masih yakin bahwa proximity determinan dari kelahiran yang paling kuat adalah penggunaan kontrasepsi,” katanya.
Persoalan seperti kontrasepsi, kata dia, masih menjadi faktor yang paling dominan untuk menentukan fertilitas. Tetapi selama menerapkannya, tidak ada indikator lain yang menjelaskan soal perilaku seksual pasangan.
Oleh sebab itu, pihaknya perlu mencermati kembali indikator-indikator lain secara lebih mendalam terkait dengan fertilitas.
Ia mengatakan terkait beberapa indikator lain yang perlu dicermati, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo sering meminta bukan hanya melihat dari jumlah anak rata-rata ataupun penggunaan kontrasepsi.
"Tapi juga bagaimana jarak kelahiran per satu anak dengan anak yang lain,” demikian kata Dwi Dwi Listyawardani.
Baca juga: BKKBN: Indonesia sedang bertransisi menuju penuaan penduduk
Baca juga: Pemerintah jalankan lima strategi untuk memanfaatkan bonus demografi
Baca juga: BPS: Manfaatkan Sensus Penduduk 2020 untuk optimalkan bonus demografi
Baca juga: 51 persen penduduk Indonesia perokok, terbesar di Asia Tenggara
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021