"Perspektif kesehatan masyarakat adalah kunci untuk menyeimbangkan tentang kebijakan narkotika dengan kebijakan penggunaan narkotika secara ilegal," kata dia, dalam sidang uji materi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, implementasi UU Narkotika yang berlaku saat ini kehilangan perspektif kesehatan masyarakat sehingga menutup ruang bagi riset dan penggunaan narkotika tertentu bagi kepentingan kesehatan yang lebih mendesak.
Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta itu juga merujuk pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Psikotropika 1971 yang memberikan hak bagi negara untuk melakukan kontrol terhadap narkotika demi kepentingan dan prinsip kemanfaatan bagi warganya.
Baca juga: Hakim MK minta pemerintah hadirkan ahli dalam uji materi UU Narkotika
Sementara mengenai substansi uji materi UU Narkotika, yakni pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1), Asmin mengatakan bahwa kedua pasal tersebut justru kontradiktif dengan maksud dan tujuan konvensi serta UU itu sendiri.
"Dalam teori kebijakan narkotika dibutuhkan dua perspektif dan mekanisme yang seimbang, yaitu 'public health' (kesehatan masyarakat) dan 'public order' (ketertiban umum)," ujar dia.
Oleh karena itu, dia mengatakan negara diharapkan tidak hanya menerapkan regulasi yang ketat terhadap penggunaan narkotika yang tidak semestinya, tetapi dapat pula mengikuti dinamika kebutuhan serta kepentingan kesehatan masyakarakat.
Selain dia, pemohon juga menghadirkan ahli obat-obatan dari Imperial College London David Nutt serta guru besar kimia bahan alam Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Musri Usman.
Baca juga: MK akan cermati permohonan meskipun anak pemohon telah meninggal
Uji materi penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a dan pasal 8 ayat (1) UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945 diajukan Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Dalam sidang sebelumnya pada hari Selasa (10/8), anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, mengatakan, permohonan pemohon bukanlah permasalahan konstitusional, melainkan masalah kemanusiaan yang harus dicari jalan keluarnya.
Atas hal ini dia menyebut DPR berpandangan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan para pemohon bersifat kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, sejauh tidak bertentangan dengan kewenangannya, pembuat undang-undang dapat melakukan pengubahan terhadap kebijakan yang dinilai tak lagi relevan.
Baca juga: Pakar: Revisi UU Narkotika harus pastikan ada kepastian hukum
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya, yang mewakili pemerintah menyampaikan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia.
Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, dia juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.
Sementara itu, dalam sidang pada 20 April 2021 lalu, pemohon menyampaikan narasi ilmiah sehubungan dengan perbandingan dari negara-negara lainnya di dunia yang menggunakan terapi ganja sebagai bagian dari pengobatan untuk penderita celebral palsy atau lumpuh otak.
Menurut pemohon, ketentuan penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a dan pasal 8 ayat (1) UU Narkotika itu telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika golongan I.
Baca juga: Komisi III minta BNN tingkatkan pemberantasan narkoba di lapas
Sidang selanjutnya akan diselenggarakan pada hari Selasa (14/9) mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli pemohon berikutnya.
Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021