"Terkait dengan aspek judul, sesuai dengan pendekatan hukum dalam kerangka penyusunan, kekerasan seksual sebagai pidana khusus, maka judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual," kata perwakilan tim penyusun, Sabari Barus dalam Rapat Pleno Penyusunan Draf RUU di Gedung Senayan Jakarta, Senin.
Barus menjelaskan kata "penghapusan" terkesan sangat abstrak dan mutlak karena penghapusan berarti hilang sama sekali menjadi sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini.
"Kami memandang tepat dengan menggunakan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujar Barus.
Baca juga: Tim Baleg DPR paparkan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Barus mengatakan terdapat tiga pendekatan hukum dalam kerangka penyusuan RUU PKS. Pendekatan itu yakni kekerasan seksual sebagai tindak pidana khusus dimana perbuatan dirumuskan dengan menyebut unsur-unsur sekaligus hukuman dari tindak pidana tersebut.
Pendekatan selanjutnya melalui perspektif korban dimana hukum pidana pada umumnya beorientasi pada penindakan pelaku. RUU PKS berorientasi pada korban tanpa menghilangkan hukum bagi pelaku, katanya.
"Ini membedakan RUU ini dengan UU pidana lainnya," ujar Barus.
Selanjutnya, pendekatan hukum acara dimana menggunakan basis Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan aturan-aturan khusus sesuai karakter kekerasan seksual dalam RUU.
Barus menjelaskan urgensi pengaturan dalam RUU PKS dimana data Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011-2019 mencatat 46.698 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal, rumah tangga, dan publik.
Baca juga: Baleg DPR RI gelar rapat pleno penyusunan RUU PKS
Dari jumlah itu, kata Barus, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik berupa perkosaan 9.039 kasus, pelecehan seksual 2.861 kasus, dan cybercrime bernuansa seksual 91 kasus.
Barus mengatakan Pancasila dan UUD tahun 1945, khususnya dalam Pasal 28G ayat (1), antara lain ditentukan bahwa setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan.
Sementara, kekerasan seksual merupakan tindakan mengganggu rasa aman dan kebebasan seseorang serta dapat menimbulkan penderitaan fisik dan psikologis korban.
Menurut Barus, korban kekerasan seksual kebanyakan adalah perempuan dan anak, terganggu keamanan dan kebebasan sehingga harus mendapat perlindungan dari negara agar terhindar dan terbebas dari kekerasan seksual.
Perlindungan dari negara dimulai dari adanya landasan hukum dengan membentuk undang-undang. Dengan kepedulian DPR digagas RUU PKS yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016 pada nomor urut 16.
Baca juga: Baleg: RUU PKS perlu atur upaya preventif cegah kekerasan seksual
"Naskah Akademik dan RUU disiapkan Baleg DPR RI," ujar Barus.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya saat memimpin Rapat Pleno RUU PKS menyatakan RUU tentang PKS merupakan usul inisiatif Baleg masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2021 yang disetujui pada 14 Januari 2021
Willy menjelaskan rapat legislasi dengan agenda mendengarkan pemaparan tim ahli atas hasil penyusunan draf awal setelah dilakukan lima kali rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Pewarta: Fauzi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021