Bahaya hoaks dan intoleransi sangat nyata. Hoaks dengan intoleransi, ektremisme, radikalisme dan terorisme terkait erat. Hoaks di era kemajuan dunia maya sekarang dijadikan pola untuk meradikalisasi warganet.
Hoaks populer seiring dengan popularitas media daring, terutama media sosial (medsos).
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sangat pesat pada era revolusi industri 4.0 membuat partisipasi aktif warga untuk membuat dan menyebarkan berita (citizen journalism) begitu tinggi.
Faktanya, dari total populasi Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 170 juta (Data perusahaan media asal Inggris, We Are Social dalam laporan "Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital" yang diterbitkan pada 11 Februari 2021).
Saat ini, siapa saja bisa membuat berita sehingga di sini potensi terciptanya hoaks dan intoleransi. Jika dibiarkan berlarut --seperti konten milik Kece-- maka dampaknya sangat berbahaya bagi keutuhan umat beragama di Indonesia.
Pasalnya, radikalisme yang kemudian mengarah ke ekstremisme lalu berujung pada tindakan teroris biasanya diawali intoleransi. Intoleransi adalah benih dari radikalisme dan terorisme.
Baca juga: Gerak inklusif sebagai barikade menangkal intoleransi
Baca juga: Perempuan perlu dilibatkan pada penyelesaian konflik intoleransi agama
Definisi/arti kata "intoleran" di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), in.to.le.ran Adjektiva (kata sifat) tidak tenggang rasa; tidak toleran.
Intoleransi adalah kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi.
Penegakkan hukum
Motif Kece mungkin semata-mata hanya komersial, namun ulahnya berpotensi meluas menjadi kekerasan sosial di dunia nyata jika tidak cepat teratasi.
Tampaknya alasan itu yang membuat Kepolisian RI tetap melakukan proses penegakan hukum perkara dugaan penistaan agama M. Kace. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono menyatakan tidak akan memberlakukan "restorative justice" (sanksi administratif).
Menggunakan flatform YouTube Kece berhasil membuat masyarakat terbelah --paling tidak baku hujat di medsos-- melalui konten hoaks, narasi negatif dan intoleransi.
Polisi akhirnya menangkap dan menjadikan Kece sebagai tersangka Selasa (24/8) malam pukul 19.30 WITA dipersembunyiannya di Bali.
Polisi menahan dia karena dipersangkakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) atau Pasal 156a KUHP mengenai ujaran kebencian terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kemudian, Pasal 45a ayat (2) terkait hoaks. Lalu, pasal 156a KUHP yang disematkan terkait penodaan agama.
Berbagai kalangan bersuara, termasuk Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menilai ceramah YouTuber tersebut berisi ujaran kebencian dan menghina simbol agama. Itu adalah tindak pidana.
Kece yang membuat saluran YouTube-nya sejak 17 Juli 2020 dengan akun MuhammadKece sekitar setahun sudah mengunggah 450 video.
Dalam waktu nisbi singkat, video unggahannya selalu ditonton ribuan orang dengan rekor terbanyak 24 ribu penonton.
Termasuk dua video yang menuai kontroversi berjudul "Kitab Kuning Membingungkan" dan "Sumber Segala Dusta".
Moderasi beragama
Masih terjadinya intoleransi, ekstremisme, radikalisme dan terorisme saat ini memang cukup memprihatinkan.
Sesuai amanah UU Nomor 5 Tahun 2018 (perubahan) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ada tiga langkah strategi pencegahan radikalisme dan terorisme.
Pertama, melalui strategi kesiapsiagaan, yaitu mencegah individu atau kelompok yang belum terpapar paham radikal agar tidak terpapar dan imun dari pengaruh radikalisasi.
Kedua, melalui strategi kontra radikalisasi, yaitu mencegah individu atau kelompok yang sudah terpapar paham radikal dalam kadar yang masih rendah dan menengah agar dapat sembuh kembali atau tidak meningkat levei-nya ke kadar yang lebih tinggi dan atau tidak bergabung ke dalam jaringan terorisme.
Ketiga, melalui strategi deradikalisasi, yaitu mencegah individu atau kelompok yang sudah terpapar pada kadar yang sudah tinggi agar tidak melakukan aksi terorisme, terkurangi kadarnya, dan atau sembuh kembali dari paham radikal.
Upaya pencegahan lain, yakni penanganan "bagian hulu", yakni "moderasi beragama" di sekolah. Istilah baru "moderasi beragama" ini tidak terlepas dari konteks maraknya radikalisme.
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin Moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Atau, bermakna penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan).
Menurut KBBI, pengertian kata moderasi, yakni: 1. pengurangan kekerasan, dan 2. penghindaran keekstreman.
Dari makna tersebut, maka moderasi beragama bisa menjadi solusi dalam menghargai kemajemukan, juga untuk menghadapi intoleransi, ekstremisme, radikalisme dan terorisme.
Ketua FKPT Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen menilai moderasi beragama dapat menguatkan komitmen kebangsaan.
Baca juga: "Warung NKRI" bendung ancaman radikalisme dan intoleransi
Baca juga: Densus: Medsos jadi sarana penyebaran radikalisme dan intoleransi
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara pada akhir 26 Agustus 2021 juga menggelar secara daring giat "Internalisasi Nilai-Nilai Agama, Sosial dan Budaya dengan Pembentukan Guru Pelopor Moderasi Beragama di Sekolah".
BNPT dalam penanggulangan terorisme terus berupaya menekan kejahatan luar biasa tersebut, selain melalui penindakan secara tegas, juga menjalankan program-program bersifat pendekatan lunak (soft approach).
Kegiatan Internalisasi nilai-nilai agama dan budaya di sekolah dalam menumbuhkan moderasi beragama menghadapi radikalisme adalah salah satu bentuk bagaimana terorisme ditanggulangi secara lunak.
Tim Pokja Moderasi Beragama Kemenag telah menyiapkan regulasi peta jalan (road map) implementasi moderasi beragama. Kemenag kini sedang mengajukan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukumnya.
Selain peta jalan, sejumlah langkah implementasi program moderasi beragama juga sudah dilakukan Kemenag, termasuk melalui diklat.
Peta jalan tersebut nantinya akan menjadi panduan bersama baik jajaran Kemenag maupun kementerian, lembaga serta instansi terkait lainnya.
Dengan berbagai langkah tegas maupun lunak maka menjadi solusi baik untuk mengatasi intoleransi sebagai benih radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
Sekali saja terjadi konflik horizontal akibat intoleransi itu maka sudah tentu sulit untuk memulihkannya.
Seperti diingatkan Sir Winston Churchill, Perdana Menteri Britania Raya (1940-1945), "Tidak ada kebodohan yang lebih mahal daripada kebodohan idealisme intoleran".
Pewarta: Iskandar Zulkarnaen
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021