"Sejak tahun lalu, ketika masih Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saya baru menyadari bahwa kita tidak memiliki atau tidak mampu memfasilitasi ranah riset yang di tengah, antara ranah riset dan industri. Itu sebabnya belum pernah ada hasil riset terkait vaksin, obat, imunomodulator yang bisa sampai industri," ujar Kepala BRIN Laksana Tri Handoko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Handoko menyadari masalah tersebut telah menyebabkan sampai saat ini belum adanya hasil riset anak bangsa seperti vaksin, obat dan imunomodulator yang sampai ke industri untuk bisa mempercepat hilirisasi dan komersialisasi produk riset.
Mantan Kepala LIPI itu menuturkan selama ini hampir tidak ada riset obat dan sejenisnya yang bisa masuk ke industri karena keterbatasan kapasitas dan kompetensi periset dan infrastrukturnya, sehingga kesulitan untuk sampai di tahap yang bisa membuktikan hasil riset tersebut secara ilmiah dan memenuhi standar regulasi.
Baca juga: BRIN lakukan seleksi terbuka kepala organisasi riset
Baca juga: BRIN: Izin edar darurat Vaksin Merah Putih ditargetkan medio 2022
"Jadi ini menjadi target saya untuk bisa menyediakan dan memfasilitasi mulai tahun depan," ujar Handoko.
Kepala BRIN menyakini akan mampu menjembatani hasil riset dengan industri secara lebih baik ke depan setelah dilakukannya konsolidasi sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi baik manusia, anggaran maupun infrastruktur riset di BRIN.
Indonesia terus berupaya mewujudkan kemandirian industri obat, vaksin dan alat-alat kesehatan.
Sebagaimana telah disampaikan Presiden RI Joko Widodo bahwa kemandirian industri obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan masih menjadi kelemahan serius yang harus dipecahkan.
Masa pandemi COVID-19 telah mempercepat pengembangan industri farmasi dalam negeri, termasuk pengembangan vaksin Merah Putih dan juga oksigen untuk kesehatan.
Di lain sisi, Kepala BRIN Handoko menuturkan pandemi COVID-19 juga mengajarkan banyak hal terutama mengungkapkan berbagai tantangan untuk bisa membuat hasil riset sampai ke industri dan bisa digunakan masyarakat, dan belajar mengatasinya dengan kolaborasi, koordinasi dan sinergi bersama agar Indonesia mampu menghadapi pandemi COVID-19 terutama dari segi kesehatan termasuk yang berkaitan dengan pengembangan obat dan vaksin Merah Putih.
Untuk itu, BRIN mengambil peran dalam memfasilitasi penguatan riset, dan masuk ke ranah penelitian dan pengembangan industri dengan menyediakan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan.
Terkait vaksin Merah Putih, Handoko menuturkan dari evaluasi sejak bulan Juni 2021, ada beberapa masalah fundamental karena baik periset maupun farmasi belum berpengalaman, sehingga tidak dimitigasi sejak awal.
Ia menuturkan selama ini belum ada satupun yang mempunyai pengalaman mengembangkan vaksin mulai dari awal di Indonesia sehingga itu menjadi tantangan yang besar untuk bisa menyukseskan pengembangan suatu vaksin.
Oleh karena itu, lanjut Handoko, perlu bersabar dalam mencapai hasil dari penelitian dan pengembangan vaksin karena ada banyak tahapan, dan ada risiko kegagalan di setiap tahapan.
Ia mengatakan tentunya semua berkolaborasi dan bersinergi untuk bisa menghasilkan suatu vaksin yang teruji secara ilmiah dan sesuai standar regulasi dari otoritas.
Sampai sekarang ini, ada sejumlah platform pengembangan vaksin Merah Putih, dan yang paling cepat progresnya adalah yang dikembangkan oleh tim Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan PT Bio Farma, dan tim Universitas Airlangga dan PT Biotis.
"Saya berharap salah satu ada yang bisa sukses," ujar Handoko.*
Baca juga: BRIN: Semua vaksin yang dipakai masih berbasis izin edar darurat
Baca juga: BRIN: Integrasi LPNK dan litbang tidak pengaruhi kerja periset
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021