Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI menyebutkan edukasi mengenai perkawinan pada anak perlu lebih digalakkan untuk dapat mencegah terjadinya kematian ibu dan bayi.
“Salah satu hal yang perlu kita lakukan adalah kita luruskan bahwa pemahaman terhadap kesehatan reproduksi itu penting,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Rakor BKKBN dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI secara daring di Jakarta, Kamis.
Hasto mengatakan, hal tersebut penting untuk dilakukan lebih masif lagi untuk dapat merubah pandangan masyarakat pada sexual education (edukasi seksual) yang masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu.
Baca juga: KPPPA bersama Kemenag cegah perkawinan anak lewat bimbingan perkawinan
Seorang anak yang ingin menikah pada usia muda, kata dia, perlu mengetahui bahwa pada umur 16 tahun tulang di dalam tubuhnya masih harus mengalami masa penambahan panjang dan pemadatan tulang.
Apabila anak tersebut memilih untuk hamil pada usia yang lebih muda, tulang akan berhenti bertambah panjang dan mudah untuk terkena penyakit saat usia tua, karena perempuan akan mengalami menopause (berakhirnya masa menstruasi pada perempuan) dan osteoporosis (kondisi berkurangnya kepadatan tulang).
Selain membahas tulang, dia menjelaskan pemberian edukasi mengenai kanker mulut rahim kepada anak perempuan juga harus dilakukan.
“Anda juga akan terpapar pada kondisi di mana usia 16 tahun itu, mulut rahimnya masih menghadap keluar. Masih mudah terkena kanker mulut rahim kalau terpapar seksual. Jadi anda akan mudah terkena kanker mulut rahim,” ujar Hasto.
Ia mengatakan apabila seorang anak telah memahami dan mengetahui pentingnya kesehatan pada sistem reproduksi tubuh, maka seorang anak akan memiliki pola fikir dan perilaku yang berbeda saat menanggapi hal terkait perkawinan.
“Ketika kita terangkan seperti itu, ternyata anak SMA usia belasan tahun akan berfikir dua kali lipat dan akhirnya (bila) mau menikah akan berfikir lagi,” kata dia.
Baca juga: Anak yatim piatu akibat COVID-19 rentan jadi korban perkawinan anak
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KemenPPPA) RI I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan perkawinan anak dapat mengakibatkan kemiskinan meningkat dan dapat memperbesar risiko stunting.
“Dampak perkawinan anak itu sangat besar. Tidak hanya terjadi putus sekolah kemudian akan berdampak pada kesehatan, kematian bayi, kematian ibu. Demikian juga kemiskinan karena akan berdampak pada kemiskinan yang berkelanjutan,” kata Bintang.
Berdasarkan data milik Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020, bayi yang dilahirkan ibu di bawah usia 20 tahun memiliki risiko lebih besar dalam melahirkan bayi prematur, berat badan rendah dan komplikasi pada kehamilan.
Ia mengatakan saat ini besar angka prevalensi pernikahan anak di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu sebesar 10,35 persen.
Untuk mengatasi perkawinan anak yang masih marak terjadi, pihaknya memang telah membuat sebuah gerakan bernama Gebyar PPA yang merupakan tindak lanjut dari strategi nasional pencegahan perkawinan anak. Namun, Bintang menyarankan agar edukasi mengenai perkawinan anak beserta risikonya terus digalakkan hingga ke tingkat akar rumput.
“Untuk itu edukasi mengenai perkawinan anak di usia dini harus dapat terus digalakkan hingga ke tingkat akar rumput,” ujar dia.
Baca juga: Tontonan tak mendidik hapuskan upaya perangi kekerasan seksual
Baca juga: TP-PKK Pusat bangun Gerakan Cegah Perkawinan Anak
Baca juga: Pemda diminta bentuk lingkungan dukung pencegahan perkawinan anak
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021