Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University Prof Etty Riani menyebut temuan konsentrasi parasetamol berada di kadar yang tidak mematikan tapi jika terus bertahan maka berpotensi memberikan dampak.Tetap harus diperhatikan karena lingkungan yang saling terkait satu dengan lainnya
"Kalau melihat dari jumlah 610 nanogram per liter itu, katakanlah sisa lima persen yang toksik, itu dengan 610 nanogran itu memang non-aktif. Tidak langsung mematikan sehingga ada berita di TV banyak ikan mati gara-gara parasetamol itu rasanya pernyataan yang kurang ilmiah," kata pakar ekotoksikologi Etty dalam konferensi pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dipantau dari Jakarta pada Selasa.
"Ini tidak akan mematikan dalam jumlah yang segini," tambahnya.
Namun, dia mengingatkan jika tetap tidak dilakukan langkah untuk menanganinya atau business as usual maka berpotensi memberikan dampak terhadap lingkungan.
"Tetap harus diperhatikan karena lingkungan merupakan suatu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya," tegasnya.
Sebelumnya, penelitian yang dilakukan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan peneliti di Inggris menemukan muara Sungai Angke dan Sungai Ciliwung, Ancol di Teluk Jakarta memiliki konsentrasi parasetamol.
Baca juga: BRIN: Warga perlu tangani limbah parasetamol tidak cemari lingkungan
Baca juga: BRIN : Riset lanjutan ungkap dampak limbah farmasi pada lingkungan
Penelitian kontaminan air di empat lokasi Teluk Jakarta yaitu Angke, Ancol, Tanjung Priok dan Cilincing serta Pantai Eretan di pesisir Jawa Tengah menemukan konsentrasi tinggi dua titik.
Konsentrasi tinggi parasetamol terdeteksi di Angke sebesar 610 nanogram per liter (ng/L) dan Ancol 420 ng/L.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan polutan parasetamol seperti yang ditemukan dalam penelitian tersebut masuk dalam emerging polutant atau bahan pencemar baru.
"Kita bicara sesuatu yang biasanya tidak terpantau di lingkungan dan memang emerging polutant ini baku mutunya juga WHO belum ada," kata Vivien.
Untuk menetapkan baku mutu air terkait polutan parasetamol diperlukan penelitian dan pemantauan lebih dalam untuk menjadi dasar penetapan.
Vivien menjelaskan KLHK mengapresiasi penelitian tersebut meski masih merupakan penelitian awal. Namun, dia menegaskan bahwa sebagai emerging polutant akan ditindaklanjuti oleh kelompok kerja di internal Ditjen PSLB3 untuk mengidentifikasinya, meninjau penelitian dan kebijakan yang mengaturnya.
"Penelitian terhadap parasetamol ini dan kandungan parasetamol yang ditemukan hanya di dua tempat tidak kemudian menimbulkan gangguan bagi kesehatan," demikian Vivien.
Baca juga: KLHK sebut belum ada baku mutu air terkait polutan parasetamol
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah benahi pengelolaan limbah produk farmasi
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021