”Kami menemukan kesan ibu korban ragu terhadap hasil pemeriksaan visum et repertum dan visum et repertum psychiatricum yang telah dilakukan kepada korban sebanyak tiga kali, mulai dari pemeriksaan di Puskesmas Malili, hingga RS Bhayangkara Polda Makassar, Sulawesi Selatan,” kata dia, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Keraguan tersebut, menurut dia, salah satu pangkal persoalan dalam kasus dugaan pencabulan yang dialami oleh tiga anak di Luwu Timur. Persoalan tersebut berakhir dengan terbitnya Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan (SKP2) pada 10 Desember 2019.
Baca juga: HNW dukung penyelidikan ulang dugaan perkosaan di Luwu Timur
Oleh karena itu, sebagai langkah penyelesaian, dia mendorong kepolisian, dalam hal ini Bareskrim, untuk memfasilitasi pemeriksaan forensik yang dinilai netral.
Ia berpandangan bahwa kepolisian dapat menawarkan pihak korban untuk memilih ahli forensik yang mereka nilai netral dan profesional. pemeriksaan yang dilakukan berupa visum et repertum, visum et repertum psychiatricum, dan psikologi forensik.
“Yang perlu menjadi perhatian semua pihak, termasuk pihak korban, adalah semua pihak harus menganggap hasil pemeriksaan independen itu sebagai hasil yang final dan diterima semua pihak secara fair,” ucap dia.
Baca juga: Pengamat ingatkan Polri proaktif cari bukti baru kasus Luwu Timur
Pemeriksaan semacam ini, kata dia, pernah ia lakoni saat bertugas mengusut penyebab kematian Pendeta Yeremia di Intan Jaya, Papua, beberapa waktu lalu. Pihak keluarga menolak pemeriksaan jika dilakukan polisi dan lebih memilih ahli forensik lain yang dianggap netral.
“Pada saat itu polisi mengabulkan permintaan keluarga,” kata dia.
Ia menyatakan bahwa LPSK telah mengikuti kasus ini sejak 2019 lalu. Secara runut, ia menyampaikan bahwa LPSK telah menerima permohonan perlindungan dari korban pada 27 Januari 2020.
Baca juga: Terlapor klarifikasi terkait tuduhan mencabuli anaknya di Luwu Timur
LPSK memberikan respon dengan menurunkan tim investigasi ke Sulawesi Selatan tepat dua hari setelah LPSK menerima permohonan dari korban, yakni 29 januari 2020.
”Kami langsung menemui korban, ibu korban, berkoordinasi dengan penyidik di Polres Luwu Timur, dan menemui kuasa hukum korban di Kantor LBH Makassar, dan berkomunikasi dengan psikolog yang sempat lakukan asesmen psikologis kepada ketiga anak tersebut,” ujar dia.
Selanjutnya, LPSK secara mandiri melakukan pemeriksaan psikologi kepada korban dan ibu korban pada 19 Februari 2020 di Makassar.
Baca juga: Kantor Staf Presiden: Buka ulang kasus perkosaan anak di Sulsel
Alasan pemeriksaan di Makassar atas permintaan ibu kakak-beradik yang kurang percaya dengan pemeriksaan psikologi di Luwu Timur.
Merujuk hasil pemeriksaan tersebut, LPSK mengabulkan permohonan perlindungan pada 13 April 2020 berupa Pemenuhan Hak Prosedural (PHP) dan pemberian bantuan psikologis.
Ia mengatakan bahwa, ketika itu, LPSK tetap bersikukuh memberikan perlindungan kepada korban meskipun penyelidikannya telah dihentikan.
Baca juga: Ini jawaban Polri terkait kasus perkosaan anak di Luwu Timur
”Melalui program PHP, LPSK terus memonitor perkembangan kasus dengan terus berkoordinasi dengan Polres Luwu Timur, melakukan audiensi dengan Kapolda Sulawesi Selatan, serta telah bertemu dengan wakil gubernur,” kata dia.
Saat ini, lanjut dia, LPSK telah mendapatkan permohonan perlindungan kembali dari ibu dan tiga anak itu. Dasar permohonan ini akan ditindaklanjuti LPSK dengan berkoordinasi bersama Bareskrim Kepolisian Indonesia.
Baca juga: WCC: Kekerasan seksual di Sumsel semakin mengkhawatirkan
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021