Dalam keterangan yang dikutip dari laman resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), di Jakarta, Jumat, Anam menilai bahwa Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 menyebabkan diskriminasi, pelanggaran hak buruh migran perempuan, dan perdagangan manusia atau human trafficking.
"Hal ini harus dievaluasi oleh Presiden. Jadi, level-nya harus Presiden. Jadi, harus dievaluasi, dicabut, lalu Presiden menginstruksikan pada semua elemen yang menunjang, baik Menteri Luar Negeri, Menteri Ketenagakerjaan, termasuk juga Menteri Investasi untuk memikirkan hal ini," tutur Anam.
Ia mengatakan, peraturan tersebut merupakan akibat dari tidak adanya hubungan legal yang baik dengan beberapa negara di kawasan Timur Tengah, sehingga sering terjadi kekerasan kepada buruh migran yang sulit untuk ditangani oleh pihak berwenang.
"Kekerasan terhadap buruh migran di negara Timur Tengah sangat tinggi," ucap dia.
Baca juga: Ketua Komnas HAM: Efektivitas hukuman mati belum terbukti
Baca juga: Wakil Ketua Komnas HAM: UU Pengadilan HAM perlu direvisi
Oleh karena itu, Anam berpandangan bahwa Pemerintah harus bekerja keras dalam menata hubungan legal dan politik dengan berbagai macam negara, misalnya dengan negara-negara Timur Tengah, untuk memastikan warga negara Indonesia terlindungi dengan baik di negara-negara tersebut.
Selain terkait dengan Kepmenaker No. 260 Tahun 2015, Anam juga mengatakan bahwa politik luar negeri, dalam konteks pelindungan buruh migran, juga harus dievaluasi oleh Pemerintah.
"Saya setuju untuk memperbaiki hubungan dengan berbagai negara dan memastikan hubungan itu di dalamnya ada pelindungan terhadap buruh migran serta Kepmenaker ini dicabut," kata Anam menegaskan.
Dalam rangka mendesak Kementerian Tenaga Kerja untuk mencabut Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 tersebut, Solidaritas Perempuan dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengadakan konferensi pers secara virtual pada Kamis (14/10) lalu.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021