• Beranda
  • Berita
  • Peneliti sarankan tarif CHT dinaikkan agar jumlah perokok menurun

Peneliti sarankan tarif CHT dinaikkan agar jumlah perokok menurun

2 November 2021 18:07 WIB
Peneliti sarankan tarif CHT dinaikkan agar jumlah perokok menurun
Tangkapan layar Wakil Tim Peneliti Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Krisna dalam webinar, Selasa (2/11/2021). ANTARA/Sanya Dinda

harga rokok juga bisa naik sehingga masyarakat berhenti merokok dan lebih aman dari paparan COVID-19.

Wakil Tim Peneliti Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Krisna menyarankan agar pemerintah meningkatkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk turunkan jumlah perokok.

“Kenaikan cukai yang terstruktur dan dengan frekuensi beberapa tahun sekali bisa meningkatkan harga rokok yang menjadi motivasi bagi masyarakat untuk berhenti merokok,” kata Krisna dalam webinar “Tapak Tilas Advokasi Harga Rokok di Indonesia”, Selasa.

Di samping meningkatkan CHT, pemerintah juga perlu menyederhanakan golongan CHT. Dengan ini, harga rokok juga bisa naik sehingga masyarakat berhenti merokok dan lebih aman dari paparan COVID-19.

“Pemerintah juga perlu meningkatkan efektivitas penggunaan CHT yang dialokasikan menjadi DBH (Dana Bagi Hasil) CHT untuk mengatasi eksternalitas negatif dari konsumsi rokok di berbagai sektor," ucapnya.

Berdasarkan hasil penelitian ketiga lembaga terkait kebiasaan merokok di tengah COVID-19, penyakit COVID-19 yang mengganggu pernapasan tidak membuat perokok menghentikan kebiasaan menghisap nikotin.

Keputusan masyarakat pun cenderung lebih dipengaruhi oleh harga rokok. Apabila harga naik, masyarakat berpotensi mengurangi konsumsi rokoknya atau berhenti sama sekali.

Hanya saja selain meningkatkan harga rokok, Krisna memandang pemerintah juga perlu mengurangi jumlah perokok di dalam negeri melalui kebijakan-kebijakan non-fiskal, salah satunya dengan memperbesar gambar peringatan dampak negatif rokok di bungkus rokok.
Baca juga: Peneliti ungkap COVID-19 tidak hentikan kebiasaan merokok masyarakat
Baca juga: Tiga pertimbangan dalam menekan prevalensi perokok

“Sejalan dengan COVID-19 yang membutuhkan hidup yang bersih dan sehat, COVID-19 bisa menjadi satu momen kampanye bahwa berhenti merokok akan menguntungkan bagi individu. Dengan berenti merokok, risiko individu terpapar COVID-19 akan lebih rendah,” imbuhnya.

Pemerintah pusat juga dapat meningkatkan jumlah pemerintah daerah yang menegakkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

“Ruang publik dapat terjaga dengan penerapan Perda KTR. Pemerintah harus mendorong Pemda yang belum memiliki Perda KPR untuk segera dan tidak menunda membuat dan menerapkannya,” imbuhnya.

Sementara itu, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong Soekirman mengatakan pemerintah berusaha berhati-hati dalam meningkatkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang akan mengerek harga rokok.

Meskipun masyarakat bisa mengurangi konsumsi rokok karena harganya naik, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan kerugian bagi petani tembakau, industri rokok, dan negara. Pasalnya, peredaran konsumsi rokok ilegal juga bisa semakin marak dengan tingginya CHT.

“Pada satu titik CHT dinaikkan juga akan menaikkan penerimaan negara. Tapi kalau terlalu tinggi, perokok akan bergeser ke rokok ilegal, meskipun telah dilakukan berbagai pengamanan oleh Bea Cukai,” ucap Atong dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: Perlunya strategi komunikasi tersegmentasi untuk kurangi angka perokok
Baca juga: Kemenperin: 4 ribu tenaga kerja terdampak kenaikan tarif CHT di 2020

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021