• Beranda
  • Berita
  • Muhammadiyah sebut Permendikbud PPKS bermasalah formil dan materiil

Muhammadiyah sebut Permendikbud PPKS bermasalah formil dan materiil

8 November 2021 11:19 WIB
Muhammadiyah sebut Permendikbud PPKS bermasalah formil dan materiil
Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Prof Lincolin Arsyad,Ph.D (tengah) saat membuka Rakornas PTM/PTM dilanjutkan penandatangan kerjasama "Muhamadiyah Online University (MOU)" yang berlangsung di kampus Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. ANTARA/Lab.Komunikasi FISIPOL UMPR.

diharapkan Kemendikbudristek dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik terutama berbagai unsur, serta memperhatikan tertib asas

Ketua Malejlis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof H Lincolin Arsyad mengatakan Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual memiliki masalah formil dan materiil.

“Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan tersebut terjadi karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan,” ujar Lincolin dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Senin.

Dia menambahkan hal itu bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan.

Selain itu, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak tertib materi muatan karena terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang melampaui kewenangan.

“Pertama, aturan itu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang- undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional. Kedua, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi,” terang dia.

Selanjutnya masalah materiil, pasal satu angka satu yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia.

Kemudian, perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.

Baca juga: Mendikbud : Permendikbud kekerasan seksual segera diterbitkan
Baca juga: Ketua DPD: Permendikbud kekerasan seksual lindungi generasi muda

“Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam [asal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” kata dia lagi.

Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”

“Sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Pasal 19 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak proporsional, berlebihan, dan represif. Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan,” terang dia.

Ke depan, dia berharap Kemendikbudristek dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik terutama berbagai unsur penyelenggara Pendidikan Tinggi, serta memperhatikan tertib asas, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Kemendikbudristek dalam merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Kemendikbudristek juga diminta melakukan melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, agar perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Baca juga: Nadiem rancang aturan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual
 

Pewarta: Indriani
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021