Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan kehadiran UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dapat mendukung penerapan pajak digital.Potensi pajak digital untuk pendapatan negara sebenarnya cukup besar. Apalagi sekarang ini semakin banyak bisnis berbasis offline bergeser menggunakan platform online
Salah satu harmonisasi dalam regulasi tersebut adalah penambahan pasal dalam UU yang memberikan landasan hukum secara kuat bagi Kementerian Keuangan untuk memungut pajak atas layanan digital.
"CIPS mengapresiasi adanya penambahan Pasal 32A yang memberikan landasan hukum bagi Kementerian Keuangan untuk menunjuk Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak atas produk/layanan digital," kata Pingkan dalam pernyataan di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, keputusan dalam regulasi perpajakan itu memberikan penegasan bahwa pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) maupun PSE saat ini tergolong sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pungutan PPN bagi PMSE pada 2020.
Baca juga: Stafsus Menkeu: UU HPP mengakomodir perpajakan di era digital
Selanjutnya, Pingkan menyatakan perlu adanya pembagian wewenang antar institusi yang jelas terkait implementasi pajak digital karena kebijakan perpajakan Indonesia umumnya menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa pajak konvensional yang sulit untuk diterapkan dalam ranah ekonomi digital.
Selain itu, lanjut dia, perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif dan efektif serta membutuhkan dialog antara pemerintah dan swasta atau Public-Private Dialogue (PPD) dengan melibatkan perwakilan pemangku kepentingan secara luas.
Menurut Pingkan, proses ini juga akan membantu membangun kepercayaan dan menjembatani jarak antara Kemenkeu dan pelaku usaha serta membantu Kemenkeu beradaptasi dengan model bisnis digital yang kerap kali berubah sesuai dengan perkembangan sektor digital.
"Potensi pajak digital untuk pendapatan negara sebenarnya cukup besar. Apalagi sekarang ini semakin banyak bisnis berbasis offline bergeser menggunakan platform online. Walaupun demikian, kita juga patut memperhatikan kesiapan kerangka regulasi dan teknis implementasinya seperti apa," katanya.
Baca juga: Solusi dua pilar pajak digital beri kepastian pemajakan di Indonesia
Terkait pelaksanaan pungutan pajak digital global yang menuju masa transisi pada 2023, ia memastikan pengaturan di level negara menjadi sangat penting untuk memperjelas mekanisme penarikan pajak dan juga upaya penyelesaian sengketa yang mungkin timbul.
Saat ini, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2020 tidak mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus ketidakpatuhan yang juga diperlukan untuk mengantisipasi permasalahan ketidakpatuhan pajak.
Kemudian, kewajiban PPN untuk produk digital juga membutuhkan sistem yang berfungsi dengan baik untuk memungut, melaporkan, dan membayar PPN. Kalau tidak, Indonesia bisa mengalami apa yang terjadi di Uni Eropa, yaitu munculnya kesulitan akibat rendahnya kepatuhan dan kurangnya penegakan dari pelaksanaan di lapangan.
Baca juga: DJP catat pungutan pajak digital capai Rp3,92 triliun Oktober 2021
Baca juga: DDTC sebut pajak digital global berdampak positif bagi Indonesia
Pewarta: Satyagraha
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021