Pinjol dan stabilitas nasional

26 November 2021 11:02 WIB
Pinjol dan stabilitas nasional
Polisi menunjukkan barang bukti kasus pinjaman online ilegal di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, Selasa, (16/11/ 2021). ANTARA FOTO/Reno Esnir/hp.
Kejahatan keuangan yang dilakukan oleh aktor-agen pinjaman online (pinjol) atau dapat disebut juga jasa keuangan fintech bukan hanya menjatuhkan moral masyarakat saja, namun hal ini berpotensi kuat mengakibatkan instabilitas nasional.

Kejahatan fintech/pinjol yang telah berlangsung lebih kurang 3 tahunan belakangan tak hanya membayangi grassroot masyarakat (masyarakat bawah), namun hal ini menghantui stabilitas ekonomi dan keamanan negara.

Tindakan Polri dalam hal pemberantasan kejahatan keuangan di sektor pinjol, utamanya pemberantasan kejahatan keuangan dari yang terbesar hingga yang terkecil, dari hulu sampai dengan hilir, masih terus ditunggu oleh seluruh rakyat Indonesia

Menurut kami, UN World Citizens' Intitiative Campaign Indonesia (UNWCI), ada 3 hal yang menjadi kejahatan berat para pelaku kejahatan keuangan, salah sàtunya pelaku kejahatan keuangan pinjol/fintech. Tidak semua pinjol/fintech melakukan kejahatan, namun semua harus diperiksa dari yang terbesar hingga yang terkecil, dari hulu sampe dengan hilir.

Seperti kami sampaikan pada Kamis, 18 November 2021 di Bareskrim Mabes Polri, 3 dugaan potensi kejahatan tersebut, yakni kejahatan kemanusiaan/HAM, kejahatan keuangan, kejahatan terhadap negara. Dari dugaan potensi ketiganya, kejahatan tersebut sangat berpotensi mengganggu stabilitas nasional.

Kejahatan kemanusiaan

Kejahatan kemanusiaan yang terkandung pada pelaku kejahatan keuangan pada suatu negara berlangsung secara halus namun berdaya rusak besar terhadap moral dan akhlak rakyatnya.

Psikologis rakyat dirusak dengan pinjaman tak masuk akal dengan berbagai teror hingga mengakibatkan tindakan bunuh diri karena tak mampu menyandang malu akibat pengambilan data yang dijadikan alat menyebar teror penagihan ke seluruh kontak dalam telepon genggam peminjam.

Masyarakat yang tengah mengalami tekanan ekonomi akibat dari pandemi COVID-19, terpaksa harus mengambil jalan termudah untuk memperpanjang hidupnya.

Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku kejahatan keuangan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan akibat yang terjadi di masyarakat.

Baca juga: Pengamat sebut koperasi jadi solusi dari ancaman pinjol ilegal

Tak sedikit dari masyarakat mengalami pertengkaran dalam keluarga hingga harus menyelesaikan pernikahannya dengan perceraian. Tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara hancur secara sosiologis akibat kejahatan keuangan tersebut.

Dalam dugaan kejahatan kemanusiaan, mereka diduga kuat melanggar kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam Deklarasi HAM PBB Pasal 3 yakni setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu; Pasal 4 yakni tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan, perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang; dan Pasal 5 yakni tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.

Selain itu juga melanggar UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta KUHP Pasal 335 tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan dan Pasal 368 tentang Pemerasan.

Kejahatan keuangan

Kejahatan keuangan merupakan kejahatan yang dilakukan kaum elit berkerah putih. Kejahatan ini dilakukan dengan sistematis dan terorganisir secara rapih dengan berbagai macam alibi dalam sistem keuangan dan dalih untuk memperkuat bahwasanya mereka tidak sedang melakukan kejahatan. Tindak kejahatan keuangan yang terjadi merupakan kejahatan yang berbentuk asimetris.

Asimetris kali ini adalah bentuk infiltrasi oleh orang per orang dalam suatu negara asing maupun dalam negara itu sendiri dengan memasuki sistem keuangan negara tertentu melalui celah kebijakan sistem yang lemah.

Pinjol ilegal yakni kejahatan keuangan sektor fintech adalah salah satu jalan mengungkap kejahatan keuangan.

Kejahatan keuangan berbagai sektor merupakan salah satu fokus utama UNWCI Campaign Indonesia dan juga internasional yakni lembaga-lembaga keuangan internasional baik yang berada di bawah UN (United Nations) langsung maupun yang tidak.

Hal ini sebagai wujud komitmen dalam memberantas kejahatan keuangan nasional dan internasional dalam menyongsong program Sustainable Development Goals 2030 (SDG's).

Baca juga: PPATK susun strategi cegah kerugian masyarakat dari pinjol ilegal

Kejahatan keuangan pinjol/fintech ilegal dan dugaan yang legal pun tak dapat dipungkiri dapat bertindak secara ilegal. Tindakan infiltrasi yang dilakukan secara sistematis dengan masuk pada sistem keuangan negara yang diduga melalui kemajuan teknologi yang dikenal dengan istilah cryptocurrency.

Menurut wikipedia, cryptocurrency adalah kumpulan data biner yang dirancang untuk bekerja sebagai alat tukar. Catatan kepemilikan koin individu disimpan dalam buku besar, yang merupakan database terkomputerisasi menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan catatan transaksi, untuk mengontrol pembuatan koin tambahan, dan untuk memverifikasi transfer kepemilikan koin. Cryptocurrency umumnya mata uang fiat , karena tidak didukung oleh atau dikonversi menjadi komoditas. 

Uang yang dicetak sebagai alat tukar diwajibkan memiliki sebuah kolateral (misalnya emas) untuk menjaga stabilitas ekonomi keuangan dunia. Crypto merupakan jenis alat tukar yang dapat dilakukan tanpa mempunyai sebuah kepastian kolateral. 

Kejahatan keuangan saat ini diduga kuat salah satunya yang terbesar adalah melakukan pencucian uang agar dapat masuk pada sistem keuangan (menjadi bersih) melalui tools sistem cryptocurrency. Setelah masuk dalam crypto dalam jeda beberapa waktu, dana tersebut ditarik oleh individu maupun korporasi untuk masuk kepada sistem perbankan.

Dalam konteks kondisi masyarakat yang sedang terpuruk mengalami depresi ekonomi akibat pandemi virus corona, para pelaku kejahatan keuangan masuk ke Indonesia melalui sistem jasa keuangan fintech/pinjol.

Dalam pelaksanaannya, bank menjadi fasilitator antara debitur dan kreditur agar terjadinya transaksi layanan jasa keuangan. Hal ini tak terlepas dari bank nasional BUMN, bank swasta nasional hingga bank swasta asing. Karena sistem pembayaran tersebut dilakukan via bank sebagai fasilitator jasa keuangan.

Bagi sebagian masyarakat, kejahatan tersebut dipandang hanya sebagai kejahatan keuangan biasa bila tidak mengetahui alur dari hulu ke hilirnya. Padahal patut diduga kuat, pinjaman ke masyarakat dapat juga hanya dijadikan alibi bahwa ada pihak-pihak tertentu (penjahat keuangan besar) dalam melakukan money laundry (cuci uang) secara besar-besaran dengan menarik pada pinjol atau fintech yang sebenarnya milik dia sendiri atau afiliasinya sendiri.

Itulah mengapa kami sebagai perwakilan masyarakat sipil yang tergabung dalam UNWCI Campaign Indonesia tegas meminta pihak penegak hukum untuk memberantas kejahatan keuangan ini dari yang terbesar sampai yang terkecil dan dari hulu sampai ke hilir.

Baca juga: Literasi keuangan bantu masyarakat terhindar pinjol ilegal

Kejahatan kerah putih keuangan ini sangat membahayakan keberlangsungan sistem berbangsa dan bernegara, mereka dapat dikenakan sanksi pada UU No 25 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara, POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran, dan Perpres Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif.

Sebenarnya bila lembaga negara oknum-oknumnya memahami dan menjalankan Perpres 114 Tahun 2020 tentang Strategi Keuangan Nasional Inklusif maka kejahatan keuangan dapat diminimalisir dan bahkan mungkin tidak ada kejahatan keuangan oleh para penjahat keuangan.

Kejahatan terhadap negara

Sebagian orang mungkin bertanya-tanya apa hubungannya pinjol/fintech dengan kejahatan negara. Kejahatan pinjol atau fintech merupakan satu bentuk kejahatan keuangan era modern (digital) karena dapat membahayakan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara.

Bila kejahatan keuangan ini tidak diberantas dari yang terbesar hingga yang terkecil dan dari hulu ke hilir maka tidak menutup kemungkinan akan terjadinya penguasaan penjahat keuangan (oligarki) mengendalikan negara dan ketika mereka tidak membutuhkan lagi maka negara tersebut dapat setiap saat dibubarkan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan pembangkrutan.

Baca juga: OJK: Pengaduan masyarakat terkait pinjol ilegal terus bertambah

Penjahat pinjol/fintech diduga kuat selain pelakunya ada di dalam negeri, pelaku besar pun ada di luar negeri. Beberapa dimungkinkan berasal dari WNA yang memang tidak berada di dalam negeri (Indonesia). Karena kemajuan teknologi dalam hal ini financial technology dapat diakses dari jarak jauh tanpa mengenal batas negara. Seperti halnya crypto, semua orang di seluruh dunia dapat mengakses dan kerahasiaannya masih dapat dikatakan termasuk yang paling aman bagi para pelaku kejahatan untuk menyimpan dananya dan merencanakan melakukan pencucian uang atau kejahatan cuci uang (money laundry).

Hasil FGD yang pernah dilakukan oleh PPATK menyatakan, "Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan indikasi bahwa praktik pinjaman online (pinjol) ilegal merupakan hasil dari sindikat dan disinyalir mendapat suntikan modal dari hasil kejahatan".

Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Upaya Deteksi, Cegah, dan Berantas Pinjaman Online Ilegal secara online dan offline dari Pusdiklat Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme di Depok, Jawa Barat, Senin (22/11).

Jelas di sini para penegak hukum nasional tidak dapat berdiri sendiri di dalam negeri dan tidak dapat berdiri sendiri di luar negeri untuk memberantas kejahatan keuangan transnasional ini.

Dari temuan hasil FGD PPATK tersebut, jelas merupakan sebuah tindakan infiltrasi terhadap sistem keuangan Indonesia. Padahal pondasi dari pemerintah dengan terbitnya Perpres 114 Tahun 2020 sudah jelas menyatakan bahwa "Strategi Nasional Keuangan Inklusif merupakan komponen penting dalam proses inklusif sosial dan ekonomi yang berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan sistem stabilitas keuangan, mendukung program penanggulangan kemiskinan, serta mengurangi kesenjangan individu dan antardaerah".

Tanggung jawab ini diemban oleh Gubernur Bank Indonesia sebagai wakil ketua harian 1, Ketua Komisioner OJK sebagai wakil ketua harian 2, serta menteri-menteri sebagai anggota DNKI untuk menjadi tanggung jawab Menko Perekonomian sebagai ketua harian DNKI.

Dalam tindakan dugaan kejahatan keuangan terhadap negara, data kependudukan sangat rentan dan digunakan oleh pihak-pihak operasional pelaku kejahatan keuangan. Disebarnya data pribadi kepada seluruh nomor kontak pribadi yang tidak menutup kemungkinan akan adanya perdagangan data pribadi merupakan ancaman keamanan dan kedaulatan negara.

Kejahatan keuangan ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan negara dan dapat dijerat dengan UU ITE No. 19 Tahun 2016 Pasal 29 dan Pasal 32 ayat 2 dan 3, UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Negara, pasal 95A yakni Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat (1a)

Perpres Nomor 114 Tahun 2020 merupakan solusi hadirnya negara untuk menyejahterakan rakyat. Namun, banyak pelaku kejahatan keuangan menyalahgunakan dengan memboncenginya untuk melakukan kejahatan cuci uang guna memasukkan uangnya dalam sistem negara dan untuk memperkaya diri sendiri dan golongannya.

*) Hartsa Mashirul, Founder UN World Citizens' Initiative Campaign Indonesia

Pewarta: Hartsa Mashirul
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021