• Beranda
  • Berita
  • Kebijakan kewajiban pasok domestik bisa atasi harga minyak goreng

Kebijakan kewajiban pasok domestik bisa atasi harga minyak goreng

1 Desember 2021 08:17 WIB
Kebijakan kewajiban pasok domestik bisa atasi harga minyak goreng
Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam. ANTARA/HO-Humas Fraksi PKS/am.

Dengan adanya DMO, produsen minyak goreng diwajibkan memproduksi minyak goreng kemasan sederhana untuk keperluan domestik, sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan minyak goreng dengan lebih mudah dan murah

Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menyatakan, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban pasok domestik terkait minyak goreng perlu ditegakkan agar dapat menjadi salah satu solusi guna mengatasi permasalahan harga minyak goreng.

Ecky Awal Mucharam dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, mendorong pemerintah segera meminta pengusaha minyak goreng untuk menerapkan kewajiban pasok domestik/DMO.

"Dengan adanya DMO, produsen minyak goreng diwajibkan memproduksi minyak goreng kemasan sederhana untuk keperluan domestik, sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan minyak goreng dengan lebih mudah dan murah," kata Ecky.

Politisi PKS itu menyoroti harga minyak goreng di pasaran yang jauh lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yaitu HET sebesar Rp11.000 per liter.

Ia mengingatkan bahwa kenaikan harga minyak goreng sebagai bahan pokok, akan berpengaruh terhadap harga dari jenis barang kebutuhan lain dan produk makanan turunannya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Oktober 2021 indeks harga konsumen (IHK) mengalami inflasi sebesar 0,12 persen, di mana minyak goreng memberikan andil inflasi 0,05 persen.

Apalagi, harga minyak goreng saat ini masih diprediksi terus melonjak hingga kuartal I 2022. Kenaikan tersebut akibat menguatnya harga crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit dunia.

"Pemerintah harus mampu mengantisipasi kenaikan harga yang lebih fantastis lagi, khususnya menjelang awal tahun mendatang," tegas Ecky.

Ecky menerangkan bahwa Indonesia telah menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak 2006. Data Index Mundi mencatat, pada 2019, produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Produksi didukung oleh ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang seluas 16,381 juta hektare.

Ironinya, masih menurut dia, pada kenaikan harga ini, konglomerat pemilik perkebunan kelapa sawit sedang dibanjiri uang hasil ekspor sawit, sedangkan dalam waktu bersamaan harga minyak goreng yang membumbung dan tak mampu dibendung.

“Bukan hanya kenaikan harga minyak goreng saat ini yang dikeluhkan masyarakat, minyak goreng juga sulit ditemui di warung-warung eceran. Indikasi adanya penimbunan minyak goreng sebagai akibat prediksi kenaikan harga yang masih berlanjut, makin memperburuk situasi’’ jelas Ecky.

Ecky menerangkan bahwa berdasarkan data sebenarnya pasokan minyak goreng di masyarakat saat ini relatif aman, di mana kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,06 juta ton per tahun, sedangkan produksinya bisa mencapai 8,02 juta ton. Hal yang perlu diperbaiki pada prakteknya adalah integrasi antara produsen minyak goreng dengan produsen CPO.

Sebelumnya, Kemendag menyebutkan sebanyak 11 juta liter minyak goreng mulai disalurkan ke 45.000 ritel perdagangan nasional sebagai langkah menangani kenaikan harga komoditas tersebut.

Minyak goreng murah tersebut dijual di 45.000 gerai Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) di seluruh Indonesia. Harga minyak goreng ditetapkan Rp14.000 per liter dengan maksimal pembelian satu liter.

Baca juga: Harga minyak goreng naik imbas tingginya harga CPO dan pasokan kurang
Baca juga: BI perkirakan minyak goreng bakal sumbang inflasi awal November
Baca juga: Mendag imbau industri bantu pemerintah kendalikan harga minyak goreng

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021