• Beranda
  • Berita
  • "Seperti Dendam", kisah cinta di dunia maskulin yang toksik

"Seperti Dendam", kisah cinta di dunia maskulin yang toksik

2 Desember 2021 09:50 WIB
"Seperti Dendam", kisah cinta di dunia maskulin yang toksik
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2021). ANTARA/Palari Films.
Film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" karya sutradara Edwin, merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Eka Kurniawan.

Film yang berlatar di Jawa Barat pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an ini berkisah tentang Ajo Kawir (Marthino Lio), seorang jagoan yang tak takut mati. Namun, ia memiliki sebuah rahasia besar, yaitu dia impoten.

Semua orang di kabupaten tempat tinggal Ajo Kawir tahu bahwa dia tidak bisa "tampil" secara seksual. Hal itu mendorong Ajo untuk tak takut bertarung terus-terusan untuk membuktikan dia cukup jantan untuk segalanya. Ia -- sang jagoan kampung yang terjebak dengan ekspektasinya sebagai laki-laki di dunia maskulin.

Ajo, seperti yang diketahui, adalah seorang preman sewaan murahan yang dikirim untuk membuat keributan besar berskala lokal. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan wanita tangguh bernama Iteung (Ladya Cheryl).

Baca juga: "Seperti Dendam" simbol bangkitnya perfilman di tengah pandemi

Saat keduanya bertarung dalam serangkaian pertempuran, mereka jatuh cinta. Ajo malu tentang hubungan mengingat kondisinya. Namun, seiring berjalannya waktu, Iteung pun menginginkan dia untuk menjadi suaminya.
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2021). (ANTARA/Palari Films)


Iteung juga punya traumanya sendiri sebagai perempuan yang harus hidup di dunia yang maskulin. Iteung tumbuh untuk berani mengambil risiko dan keputusannya sendiri yang menjadikannya seorang tak kalah kuat.

Preman lain bernama Budi (Reza Rahadian) juga naksir Iteung dan berniat untuk menyabotase Ajo serta mempermalukannya dengan mendirikan bisnis penjualan minyak lintah dengan klaim menyembuhkan impotensi.

Hubungan tersebut lalu menjadi lebih rumit. Akankah Ajo menjalani kehidupan yang bahagia bersama Iteung dan, pada akhirnya, berdamai dengan dirinya?

Karena memiliki protagonis seorang preman, film banyak membawa elemen film aksi di dalamnya. Meski demikian, alih-alih menjadi sorotan utama dalam film, adegan bertarung yang dikemas dengan apik ini rasanya menjadi bumbu pelengkap dari premis utama dari film -- tentang maskulinitas yang toksik.

Baca juga: Pengalaman teater bantu Reza Rahardian dalami peran
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2021). (ANTARA/Palari Films)


Impotensi -- mungkin bukan topik yang familiar untuk diangkat dalam sebuah film, pun dengan percakapan sehari-hari. "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" berhasil menghadirkan kritik terhadap budaya maskulin yang beracun, menekankan bahwa isu soal kejantanan ini rasanya masih relevan hingga kini, terlepas dari latarnya di tahun 80-90-an.

Penonton Indonesia juga akan menangkap sejumlah kritik terselubung, yang juga ditujukan dalam novelnya, termasuk tentang pandangan superior terkait machoisme yang mengemuka pada era 80-an.

Di sisi lain, penampilan Marthino Lio sebagai sang jagoan kampung yang impoten pun sangat mencuri perhatian. Bersama dengan naskah yang divisualkan dengan apik, mampu membawa penonton ikut mengeksplorasi trauma, perjalanan, dan perkembangan karakternya.

Pun dengan Ladya Cheryl, mampu membawa Iteung si jagoan kampung yang tangguh secara mempesona di layar lebar. Selain aksi yang tak kalah memukau dari para pemeran pria, Ladya mampu membawa sisi emosional yang membuat penonton terpesona, dan mengikuti kisah tokoh ini dari awal hingga akhir -- bahkan menuai diskusi dari sudut pandang penonton wanita tentang maskulinitas.

Baca juga: Djenar Maesa Ayu berharap film bisa jadi wadah "awareness" isu sosial

Baca juga: Edwin tentang alihwahana "Seperti Dendam" dan kolaborasi lintas negara

Baca juga: "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" tayang 2 Desember 2021

"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2021). (ANTARA/Palari Films)


Bicara soal cerita, Edwin dan Eka Kurniawan menjejalkan cukup banyak alur cerita yang berkelok-kelok, terutama yang melibatkan Jelita (Ratu Felisha), yang penampilannya penuh teka-teki.

Beralih ke visual, rasanya film ini menjadi obat rindu dan surat cinta para pembuatnya kepada sinema Indonesia di era tersebut. Berlatar waktu di akhir tahun 80an dan awal 90an, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid.

Sang sutradara sebelumnya menjelaskan bahwa referensi gambar sangat dipengaruhi oleh imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti "Flora dan Fauna", "Sesame Street", hingga "Si Unyil" yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm.

"Bagi saya, 16 mm adalah representasi realita sehari-hari yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya terhadap periode 80-90an. Tentu saja keinginan menggunakan pita seluloid dalam proses shooting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih dalam merealisasikannya," kata Edwin.

Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm.
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2021). (ANTARA/Palari Films)


"Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Sebuah pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan dalam masa pandemi," ujarnya menambahkan.

Untuk "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", Edwin melakukan kolaborasi internasional dengan menggandeng Director of Photography Akiko Ashizawa yang berasal dari Jepang.

Ashizawa biasa berkolaboasi bersama sutradara kawakan Kiyoshi Kurosawa, salah satunya untuk film "Tokyo Sonata" (2008).

Edwin juga berkolaborasi dengan editor dari Thailand, Lee Chatametikool. Lee dikenal sebagai kolaborator dari sutradara terkemuka Thailand, Apichatpong Weerasethakul. Salah satunya pemenang Cannes Film Festival 2010, "Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives" (2010).

Ada juga animasi-animasi dari lukisan truk khas Indonesia yang sesekali menambah keceriaan, sekaligus media untuk menggabungkan komentar masyarakat yang dibungkus dengan humor.
 
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2021). (ANTARA/Palari Films)


Beralih ke audio, pilihan musik mencakup berbagai gaya dan sering digunakan dengan cara yang sengaja berbenturan dengan aksi di layar, menciptakan "disonansi" yang menarik.

Sementara itu, selain Marthino Lio, Ladya Cheryl, dan Reza Rahardian, film ini juga ikut menampilkan Ratu Felisha, Djenar Ayu, Christine Hakim, Ayu Laksmi, Eduwart Manalu, Kiki Narendra, Yudi Ahmad Tajudin, dan Sal Priadi.

Film ini sebelumnya juga berkeliling ke festival film berbagai negara seperti Toronto, Hamburg, Busan, London, Singapura, dan masih banyak lagi. Lebih dari 30 festival disambangi oleh film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, termasuk pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival baru-baru ini.

"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", film pemenang utama Golden Leopard di Locarno Film Festival, tayang mulai 2 Desember di bioskop seluruh Indonesia untuk penonton berusia 18 tahun ke atas.


Baca juga: Tiga film Indonesia masuk seleksi Festival Film Busan 2021

Baca juga: Filmnya menang di Locarno, Edwin puji totalitas tim dan pemain

Baca juga: "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" cetak sejarah di Locarno

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021