"Bicara soal anak (sebagai) korban tentu selalu berkaitan dengan orang tua, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari klasifikasi itu, kita harus melakukan upaya seperti memberikan pemahaman yang baik terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga mereka tidak mudah dibujuk rayu oleh pelaku serta dapat melakukan deteksi dini," kata Nahar sebagaimana dikutip dalam siaran pers kementerian di Jakarta, Jumat.
Ia menekankan pentingnya memberikan pemahaman kepada perempuan dan anak agar mereka memiliki keberanian untuk melapor dan meminta pertolongan serta mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana mereka bisa mendapatkan pertolongan dan pelayanan yang dibutuhkan saat menghadapi tindak kekerasan.
Menurut hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2021, angka kasus kekerasan terhadap anak sudah cenderung menurun.
"Tahun 2018, angka kekerasan bagi anak laki atau perempuan adalah 6 dari 10. Tahun 2021 angka ini menurun, misalnya untuk anak perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun di sepanjang hidupnya adalah 4 dari 10 dan untuk laki-laki adalah 3 dari 10," kata Nahar.
"Angka ini terus kami kawal karena bisa jadi penurunan ini adalah dampak dari upaya yang sudah dilakukan, baik upaya pencegahan, regulasi, dan sebagainya," ia menambahkan.
Kendati demikian dia mengakui bahwa data dan laporan yang masuk belum cukup menggambarkan kasus kekerasan yang dialami anak secara makro mengingat respons dan akses layanan pelaporan di daerah berbeda-beda.
Oleh karena itu, Nahar mengatakan, pemerintah mendorong pembangunan kabupaten/kota layak anak guna memastikan pemenuhan hak dan perlindungan anak berjalan dengan baik.
Baca juga:
LBH Apik: Kekerasan pada perempuan dan anak naik pada 2021
Yogyakarta diharapkan menjadi model pencegahan dan penanganan KDRT
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021