Tantangan pertama menurutnya adalah konsep penataan ruang dan kawasan yang harus menopang ibu kota negara. "Jadi tantangan ke depan tentunya konsep penataan ruang, lingkup kawasan yang harus benar-benar menopang prinsip kawasan," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu.
Menurutnya kawasan ibu kota itu akan menjadi kawasan eksklusif, maka akses sumber daya manusia (SDM) akan terbatas, maka daya dukung pembangunan wilayah penyangga kawasan juga perlu dipikirkan di masa depan.
Selain itu, lanjut dia, hubungan kerja dan urusan pemerintahan di ibu kota negara secara kewilayahan akan berada dalam wilayah provinsi, namun pengelolaannya dilakukan oleh Kepala Badan Pengelola ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden.
"Dan fungsi pengawasannya langsung oleh pemerintah pusat. Hal itu dalam prakteknya ke depan memungkinkan terjadi konflik dalam kewenangan dan menjalankan urusan, sehingga harus diantisipasi," tuturnya.
Baca juga: Pengamat harap pemerintah serap aspirasi untuk aturan turunan UU IKN
Baca juga: Ridwan Kamil minta penetapan UU IKN tak lupakan nasib Jakarta
Baca juga: Pengamat sebut UU IKN beri kepastian pemindahan IKN
Ia menambahkan pendanaan yang besar karena selain untuk kebutuhan pembangunan juga memindahkan SDM yang besar harus jelas. Menurutnya ada ketakutan masyarakat apabila menggunakan anggaran APBN yang dibiayai oleh utang.
Hermanto juga mengkritisi proses UU IKN karena pembahasannya sangat singkat dan minim partisipasi publik, sehingga UU tersebut berpeluang nasibnya sama dengan UU Cipta Kerja yang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini karena secara proses formil maupun secara substansi materiil UU ini memang potensial digugat.
"Kedua, secara substansial ada beberapa materi UU itu potensial bertentangan dengan UUD 1945 terutama dalam meletakkan kekhususan Ibu Kota Negara dengan pilihan konsepnya adalah badan otorita," katanya.
Menurutnya pilihan model pemerintahan itu masih miskin penjelasan apalagi dipaksakan UU sudah berlaku tahun 2022 yaitu minimal 2 bulan setelah UU ditetapkan.
"Saya khawatir aspek politik di luar substansi yang lebih dominan mengemuka yaitu penunjukan kepala badan otorita IKN lebih menonjol daripada visi membangun konsep ibu kota negara ke depan yang ideal," ucap dosen FISIP Universitas Jember.
Ia menilai substansi lain yang menguatkan ketergesaan pilihan model pemerintahan dalam konsep IKN ke depan adalah sebagai bentuk pengecualian tidak adanya representasi masyarakat sebagai bagian pemerintahan.
"Hal itu potensial justru akan menjadi kawasan yang eksklusif sementara dari aspek kesejarahan lingkungan bahwa lokasi yang menjadi ibu kota negara tidak akan lepas dari konteks hukum adat yang sudah berjalan di masyarakat," ujarnya.
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022