"Hal ini dapat menimbulkan tantangan signifikan terhadap pemulihan ekonomi dan stabilitas keuangan di negara-negara emerging market," ucap Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Devisa BI Rudy Hutabarat dalam Annual Investment Forum 2022 di Jakarta, Sabtu.
Kendati demikian, ia memperkirakan normalisasi Fed akan lebih ringan dampaknya daripada taper tantrum yang terjadi pada tahun 2013.
Baca juga: BI: RI perlu lebih fleksibel hadapi potensi kenaikan bunga obligasi AS
Kemungkinan tersebut disebabkan komunikasi otoritas yang lebih baik dalam memberikan sinyal kebijakan dan kondisi ekonomi serta keuangan saat ini lebih baik dari tahun 2013.
Maka dari itu, Rudy berpendapat penting untuk membahas penetapan kebijakan untuk kelancaran strategi ekonomi, dengan kondisi yang berbeda di seluruh negara, serta membahas cara memperkuat pemantauan risiko global dan memitigasi spillover negatif.
Pembahasan tersebut akan dilakukan pula di berbagai rangkaian acara pertemuan G20 di Indonesia.
Baca juga: Gubernur BI optimistis investasi akan topang perekonomian pada 2022
"Kita akan menghadapi potensi divergensi kebijakan moneter antar bank sentral seiring dengan perbedaan kecepatan proses pemulihan pasca pandemi, sehingga ini penting untuk dibahas," katanya.
Menurut dia, beberapa negara pulih lebih cepat dari yang lain, sehingga menciptakan perbedaan dalam pembangunan ekonomi dan respons kebijakan.
Dengan demikian, normalisasi kebijakan moneter, terutama oleh bank-bank sentral utama tentu akan berdampak luas pada pasar keuangan global, terutama kepada aliran modal di negara emerging market.
Baca juga: BI: Normalisasi kebijakan harus terencana baik untuk jaga stabilitas
Baca juga: BI proyeksi inflasi RI mulai naik pada akhir tahun 2022
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022