Senior Executive Vice President Manajemen Resiko PT PLN (Persero) Chairani Rachmatullah, Sabtu, mengatakan produksi energi nasional mencapai 300 terrawatt hour (TWh) pada 2020 (basecase), sementara pertumbuhan kebutuhan listrik diperkirakan mencapai 1800 TWh pada 2060.
Walau sudah ada proyek 35 Giga Watt (GW) yang dicanangkan pemerintah dengan masih didominasi oleh bahan bakar fossil tapi diperkirakan nantinya hanya akan memberikan tambahan sebesar 21 GW (120 TWh).
“Artinya ada gap energi sebesar 1.380 TWh (230 GW), dan ini sangat mungkin diisi oleh pembangkit EBT dan memerlukan biaya investasi 500-600 miliar dolar AS,” kata Chairani dalam Webinar “Peran Renewable Energy dalam Meningkatkan Daya Saing di Era Revolusi Indonesia 4.0” yang digelar Ikatan Alumni Teknik Elektro Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang.
Untuk itu, PLN sudah menyiapkan peta jalan untuk mendukung pengembangan EBT itu dengan membuat Rencana Penambahan Pembangkit pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 atau Greener RUPTL.
Ini juga menjadi dasar untuk mencapai target Zero Carbon pada 2060 seperti yang ditargetkan pemerintah.
Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit PLN mencapai 63,3 GW. Oleh karena itu, dalam 10 tahun ke depan, PLN berencana menambah pembangkit baru sebesar 40,6 GW dengan porsi EBT mencapai 20,9 GW (51,6 persen).
Selain itu, PLN juga merencanakan untuk mengistirahatkan PLTU retirement sebesar 1,1 GW dan penggantian PLTD/PLTMG/PLTG tua tersebar sekitar 3,6 GW sehingga kapasitas pembangkit PLN pada tahun 2030 menjadi 99,2 GW.
Baca juga: Akademisi: Kalsel miliki potensi energi terbarukan cukup besar
Walau sudah ada proyek 35 GW itu, yang mana 34 persen atau 13 GW masih merupakan PLTU, menurut Chairani, PLN tetap berkomitmen akan memasukkan EBT dalam sistem ketenagalistrikan.
“Artinya tidak perlu khawatir, porsi EBT masih sangat memungkinkan masuk ke sistem kami (tidak kelebihan suplai),” kata dia.
Terkait strategi untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, PLN juga telah membuat beberapa perencanaan, di antaranya, percepatan izin, eksplorasi dan pembebasan lahan untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan PLTP (1,4 GW), PLTA dan PLTM (4,2 GW).
Kemudian, program dedieselisasi PLTD tersebar 588 MW menjadi PLTS 1,2 GWp dan Batere, pembangunan PLTS 4,7 GW dan PLTB 0,6 GW.
Lalu, implementasi co-firing biomasa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10 persen untuk PLTU di Jawa-Bali dan 20 persen untuk PLTU di luar Jawa-Bali, dengan total kapasitas ekuivalen 2,7 GW setara bauran energi 6 persen.
Baca juga: Indonesia butuh investasi 1.177 miliar dolar AS untuk listrik bersih
Mengganti PLTU Batubara dengan Pembangkit EBT 1 GW sebagai pemikul beban dasar setelah tahun 2025, serta retirement PLTU di Muarakarang, Priok, Tambaklorok dan Gresik dengan total kapasitas 1,1 GW pada tahun 2030.
“Melalui upaya ini porsi EBT di sistem pembangkitan PLN diharapkan tumbuh dari 13,01 persen pada 2021 menjadi 23 persen pada 2025 dan 24,8 persen pada 2030,” kata dia.
Dalam upaya transisi energi pada kelistrikan Indonesia ini, ia tak menampik terdapat sejumlah resiko yang sangat mungkin terjadi di antaranya dari sisi regulasi, lingkungan, operasional hingga keuangan.
"Salah satunya dari sisi operasional yakni bakal ada penurunan keandalan listrik, dan dari sisi lingkungan yakni bakal ada masalah jika ada eksploitasi berlebih untuk penyediaan bahan baku pembangkit tenaga biomassa," kata dia.
Baca juga: PLN akan operasikan 648 megawatt pembangkit energi bersih
Baca juga: Berkat teknologi, harga listrik EBT kian murah ketimbang fosil
Baca juga: Kementerian ESDM ajak milenial kembangkan usaha rintisan energi bersih
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2022