Bila nasib sedang malang, perjalanan Padang-Solok, Sumatera Barat via tanjakan Sitinjau Lauik yang biasanya hanya 1,5 jam bisa molor hingga tiga jam bahkan lebih karena macet...penerapan aturan tidak bisa dilakukan secara parsial tetapi secara menyeluruh dengan mempertimbangkan semua aspek..
Penyebabnya banyak. Longsor, perbaikan jalan, namun yang paling sering adalah truk yang melintang sehingga menghambat pengguna jalan sehingga mengakibatkan kemacetan parah.
Topografi Sitinjau Lauik memang ekstrem. Jika bertolak dari Padang, banyak "tanjakan maut" yang harus dilewati. Bila dari Solok, tanjakan itu berubah menjadi turunan yang tidak kalah "maut"-nya. Namun, jika kendaraan sehat dan dimensi serta muatan sesuai dengan kapasitas kendaraan, jalur "maut" itu sebenarnya bukan masalah, tinggal kelihaian sopir untuk bisa aman melewatinya.
Celakanya, berdasarkan data Organda Sumbar hampir 90 persen truk yang beroperasi di daerah itu Over Dimention Overload (ODOL), termasuk yang melintasi "jalur maut" Sitinjau Lauik. Truk yang dimensinya sudah ditambah dan kelebihan muatan itu tidak sanggup menarik atau menahan beban yang tidak sesuai dengan kapasitasnya sehingga terpaksa berhenti di tengah jalan atau mengalami kecelakaan tunggal.
Sopir truk biasanya memilih membanting stir agar truk tersandar ke tebing. Meskipun berpotensi terguling atau merintangi jalan, tapi pilihan itu paling rasional, karena pilihan lainnya adalah jatuh ke dalam jurang yang tingginya bisa puluhan meter.
Kepala Balai Penyelenggaraan Transportasi Darat Wilayah III Sumbar, Deny Kusdyana menyebut persoalan ODOL di daerah itu memang berat. Secara kasat mata bisa dilihat ukuran truk yang melintas di Sumbar tidak sesuai lagi dengan Nomor Uji Berkala. Jarak sumbu I-II biasanya sudah ditambah, demikian juga dengan Rear Over Hang (ROH) atau jarak dari sumbu roda belakang dengan ujung paling belakang termasuk bumper.
BPTD Wilayah III Sumbar bersama pihak kepolisian sudah berkali-kali melakukan razia. Kendaraan yang terjaring dinormalisasi kembali pada dimensi awal atau dinaikkan kasusnya menjadi P21. Namun, persoalan itu masih tetap menjadi PR yang belum terselesaikan.
BPTD Wilayah III juga berkali-kali melakukan penertiban di lima jembatan timbang yang ada di Sumbar. Tetapi hasilnya juga belum maksimal. Selain karena kekurangan SDM yang mengakibatkan jembatan timbang tidak bisa beroperasi 24 jam, juga karena sopir seringkali mengakali upaya penertiban.
Sopir memilih untuk berhenti dan memarkir truk sebelum memasuki jembatan timbang agar tidak terjaring penertiban. Mereka menunggu hingga petugas jembatan timbang pulang baru kembali melanjutkan perjalanan. Disinyalir, upaya untuk mengakali penertiban itu perintah dari pemilik atau perusahaan pengelola truk. Bila sopir tetap jalan dan terjaring penertiban, maka sopirlah yang harus tanggung jawab penuh terhadap konsekuensinya.
Puluhan truk yang parkir di pinggir jalan sebelum jembatan timbang itu menyebabkan persoalan baru karena masyarakat yang memiliki usaha di sepanjang jalan itu menjadi terganggu karena kerap berpotensi menghambat rezeki warga setempat.
Tidak jarang, masyarakat tersebut yang kemudian mendatangi petugas jembatan timbang meminta solusi agar truk tidak parkir di depan tempat usaha mereka. Dengan kata lain, mereka meminta truk tersebut dibiarkan lewat agar tidak parkir di pinggir jalan dan menghalangi usaha mereka.
Baca juga: Kemenhub: Sanksi kendaraan ODOL tilang dan transfer muatan
Koordinasi
BPTD Wilayah III telah berkonsultasi dengan Ditjen Perhubungan Darat Kementrian Perhubungan RI terkait persoalan itu dalam upaya mensukseskan program "Indonesia Zero ODOL 2023". Koordinasi dengan pihak kepolisian menjadi salah satu solusi yang akan dilakukan pada 2022 sehingga truk yang mencoba mengakali penertiban tetap bisa terjaring.
Data tahun 2021, jumlah pelanggaran dan penindakan di Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah III Sumbar terdapat 4.710 pelanggaran dengan 18 kendaraan pelanggaran dimensi kendaraan.
Hingga Tahun 2021 jumlah kendaraan barang yang terdaftar normalisasi sebanyak 48 kendaraan, yang sudah melakukan normalisasi sebanyak 10 kendaraan, dalam proses normalisasi sebanyak tiga kendaraan dan dalam pengawasan sebanyak 35 kendaraan.
Selain itu juga ada upaya hukum melaksanakan P21 sebanyak 2 kali yaitu pada tahun 2019 dan tahun 2020. Tahun ini, dengan adanya dukungan dan koordinasi dengan pihak kepolisian, penertiban truk ODOL akan semakin masif sehingga program yang dicanangkan bisa berjalan maksimal.
Dirlantas Polda Sumbar dijabat AKBP Hilman Wijaya mengatakan truk ODOL berpotensi menimbulkan laka lantas yang dapat membahayakan pengendara lain bahkan bisa mengakibatkan korban jiwa.
Truk yang dimodifikasi sehingga jauh melampaui kapasitas yang seharusnya diduga akan berpengaruh terhadap fungsi mesin hingga pengereman. Tidak ada jaminan bahwa modifikasi yang dilakukan membuat truk tetap bisa aman beroperasi di jalan raya.
Untuk itu, penertiban yang dilakukan selain bagian dari program nasional bersama mewujudkan Zero ODOL pada 2023 juga upaya meminimalkan laka lantas di Sumbar. Apalagi dalam beberapa razia yang dilakukan, ditemukan 10 orang pengemudi kendaraan truk atau angkutan umum yang positif narkoba saat uji sampling.
Data Dirlantas Polda Sumbar dari 25 Januari 2022 hingga saat ini telah dilakukan penertiban ODOL terhadap 1.446 pelanggaran dengan barang bukti 175 kendaraan yang tersebar di seluruh jajaran.
Baca juga: Kemenhub terus tekan angka pengemudi yang langgar aturan muatan
Tidak hanya sopir
Ke depan, penindakan tidak hanya akan dilakukan terhadap sopir. Pemilik kendaraan atau perusahaan pengelola juga akan diperiksa karena patut diduga kendaraan bisa beroperasi atas izin pemilik atau pengelola.
Organisasi Angkutan Darat (Organda) Sumbar mendukung upaya yang dilakukan pemerintah dalam menertibkan ODOL di daerah itu. Namun ia menyebut pemerintah juga harus arif bahwa munculnya truk ODOL bukan hanya didorong oleh pemilik kendaraan dan sopir yang ingin mendapatkan untung tetapi juga karena pemilik barang yang ingin lebih efektif dan efisien dalam pengiriman.
Ketua Divisi Angkutan Organda Sumbar, Syafrizal mengatakan pemilik barang cenderung memilih truk ODOL karena menggunakan truk yang memiliki daya angkut lebih banyak membuat biaya angkut bisa ditekan.
Karena itu, Syafrizal menilai penertiban bukan hanya melulu menyasar sopir dan pemilik truk tetapi juga harus ada aturan dan sanksi tegas bagi pemilik barang yang menggunakan ODOL. Jika pemilik barang tidak mau atau tidak bisa menggunakan truk ODOL dan "terpaksa" harus menggunakan truk normal, maka secara otomatis tidak akan ada lagi truk ODOL di Indonesia.
Namun, di lain pihak pemerintah juga harus menyiapkan langkah antisipasi akibat dari normalisasi truk ODOL tersebut terutama soal kemungkinan kenaikan harga barang karena membengkaknya biaya transportasi.
Dengan asumsi semua truk ODOL dinormalisasi kembali, maka barang yang sebelumnya bisa diangkut dalam sekali jalan dengan satu truk, harus diangkut dalam dua kali jalan. Akibatnya biaya angkut akan membengkak sehingga harga barang di tingkat konsumen juga akan naik signifikan.
Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan baru yang tidak diinginkan, terutama di zaman paceklik ini. Saat perang dengan COVID-19 belum lagi reda.
Akhirnya ia menilai penerapan aturan tidak bisa dilakukan secara parsial tetapi secara menyeluruh dengan mempertimbangkan semua aspek dan akibat yang mungkin terjadi.
Baca juga: Kemenhub dorong penerapan sistem manajemen keselamatan angkutan barang
Baca juga: PUPR: Tol nirsentuh bisa diintegrasikan dengan alat pengendali ODOL
Baca juga: Kemenhub kampanyekan pentingnya keselamatan berlalu lintas
Pewarta: Miko Elfisha
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022