"Sel-sel awan Cb terdeteksi di sepanjang Jawa hingga Bali, NTB, dan NTT," kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab yang dihubungi di Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan fenomena hujan es dapat terjadi karena dipicu oleh adanya pola konvektifitas di atmosfer dalam skala lokal-regional yang signifikan.
Baca juga: Fenomena hujan es landa wilayah Semarang
Hujan es dapat terbentuk dari sistem awan konvektif jenis Cumulonimbus (Cb) yang umumnya memiliki dimensi menjulang tinggi yang menandakan bahwa adanya kondisi labilitas udara signifikan dalam sistem awan tersebut sehingga dapat membentuk butiran es di awan dengan ukuran yang cukup besar.
Besarnya dimensi butiran es dan kuatnya aliran udara turun dalam sistem awan Cb atau yang dikenal dengan istilah "downdraft" dapat menyebabkan butiran es dengan ukuran yang cukup besar yang terbentuk di puncak awan Cb tersebut turun ke dasar awan hingga keluar dari awan dan menjadi fenomena hujan es.
Kecepatan "downdraft" dari awan Cb yang signifikan dapat mengakibatkan butiran es yang keluar dari awan tidak mencair secara cepat di udara, dan bahkan sampai jatuh ke permukaan bumi pun masih dalam berbentuk butiran es yang dikenal dengan fenomena hujan es.
BMKG mengimbau masyarakat waspada terhadap kemungkinan terjadinya potensi cuaca ekstrem, seperti hujan es, puting beliung (waterspout), hujan lebat disertai petir, dan angin kencang hingga Maret-April mendatang,
Fenomena hujan es bersamaan dengan hujan deras dan disertai angin kencang terjadi di sejumlah wilayah di Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin sore.
Selain di Surabaya, hujan es terjadi di wilayah Tembalang, Kota Semarang, menyusul hujan deras yang melanda daerah ibu kota Provinsi Jawa Tengah tersebut. Peristiwa serupa juga berlangsung di dua kecamatan di Cianjur, Jawa Barat.
Baca juga: Hujan es landa dua kecamatan di Cianjur Jabar
Baca juga: Fenomena alam hujan es disertai angin kencang terjadi di Surabaya
Baca juga: Hujan es di Jawa Timur dipicu konvektifitas massa udara signifikan
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022