• Beranda
  • Berita
  • Wamenkumham: RUU TPKS tidak bertabrakan dengan undang-undang lain

Wamenkumham: RUU TPKS tidak bertabrakan dengan undang-undang lain

22 Februari 2022 13:06 WIB
Wamenkumham: RUU TPKS tidak bertabrakan dengan undang-undang lain
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej saat memberikan paparan RUU TPKS di Jakarta, Selasa (21/2/2022). ANTARA/Muhammad Zulfikar

Mirisnya, dari ribuan kasus tersebut, kurang dari 300 kasus yang bisa dijadikan kenyataan perkara atau sampai sampai ke pengadilan.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak akan bertabrakan dengan undang-undang lain.

"Karena ketika menyusun RUU TPKS ini, kami menyandingkan dengan berbagai aturan. Baik yang ada dalam rancangan maupun undang-undang existing," kata Prof. Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Selasa.

Dijelaskan pula bahwa yang ada dalam rancangan adalah RUU KUHP, sementara yang existing ada empat, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Artinya, lanjut dia, dengan menyandingkan RUU TPKS dengan undang-undang lainnya maka tidak akan tumpang-tindih.

Dengan kata lain, semua yang perlu diatur baik dalam RUU KUHP dan empat undang-undang existing dimasukkan ke dalam RUU TPKS.

"Jadi, tidak akan mungkin tumpang-tindih," tegas Wamenkumham.

Secara substansi, RUU TPKS yang merupakan inisiatif DPR tersebut lebih menitikberatkan pada hukum acara. Hal itu dilatarbelakangi temuan 6.000 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas HAM.

"Mirisnya, dari ribuan kasus tersebut, kurang dari 300 kasus yang bisa dijadikan kenyataan perkara atau sampai sampai ke pengadilan. Dengan kata lain, kurang dari 5 persen kasus yang bisa naik ke meja hijau," katanya.

Artinya, kata dia, ada sesuatu yang salah dengan hukum acara di Indonesia sehingga dari 6.000 kasus kekerasan seksual yang terjadi, kurang dari 300 kasus yang bisa diproses hukum.

Oleh karena itu, dia memandang penting hukum acara di dalam RUU TPKS diatur sedetail mungkin dan komprehensif," katanya.

Sebagai contoh, satu saksi dengan alat bukti, sudah cukup bagi aparat penegak hukum untuk memproses kasus kekerasan seksual. Begitu pula, keterangan korban dan alat bukti lain juga sudah cukup dan beberapa hal lainnya.

Baca juga: Menteri PPPA berharap RUU TPKS bukan jadi dokumen semata

Baca juga: KPPPA apresiasi keterlibatan ormas dalam upaya hapus kekerasan seksual

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022