Padahal, Yves Saint Laurent, legenda fesyen dunia, pernah berkata: fashion fades, style is eternal. Artinya, gaya adalah sesuatu yang kita bawa di dalam diri kita, bukan sekadar memakai pakaian keluaran terkini.
Baca juga: "Daur", koleksi sisa potongan bahan tenun dengan gaya artistik
Prinsip Yves Saint Laurent dapat dikatakan sejalan dengan konsep fesyen sirkular atau circular fashion yang mendorong masyarakat untuk lebih berkesadaran dalam mengonsumsi produk-produk fesyen.
Dengan lebih memperhatikan fungsi, mengutamakan kualitas, dan memilih desain yang mudah dipadupadankan, kita bisa berkreasi dalam gaya pakaian yang lebih universal dan abadi. Secara tidak langsung, kita telah berkontribusi untuk mengurangi sampah dan limbah tekstil.
Secara sederhana, fesyen sirkular (circular fashion) didefinisikan sebagai produk mode yang dirancang, bersumber, diproduksi, dan dilengkapi dengan tujuan memperpanjang manfaat dari sebuah rantai produksi dan konsumsi sehingga bisa menggunakan sumber daya dengan lebih efisien (resource efficiency).
Lebih jauh lagi, fesyen sirkular memastikan daya guna sebuah garmen tetap berputar, mulai dari rancangan pakaian, berapa lama daya pakainya, pemilihan bahan pakaian yang berkelanjutan, sampai proses produksi yang mendukung kesejahteraan pekerja. Dengan kata lain, penerapan fesyen sirkular mampu meminimalkan limbah dan polusi dari industri tekstil.
Selama dua tahun terakhir, pandemi COVID-19 telah menjadi titik balik industri fesyen nasional. Pandemi menghambat proses produksi dan supply chain ritel sehingga industri fesyen tidak hanya mengalami perubahan drastis dalam kebiasaan berbelanja, tetapi juga menyesuaikan desain pakaian yang lebih mengedepankan fungsi serta keberlanjutan agar tetap bertahan di masa pandemi.
Pada saat yang sama, konsumen juga mulai aktif menyuarakan kepedulian mereka atas dampak industri fesyen terhadap lingkungan. Mau tidak mau, para pelaku industri fesyen beradaptasi dan berupaya menerapkan fesyen sirkular secara bertahap.
Baca juga: Rekomendasi jenama fesyen ramah lingkungan untuk sambut tahun 2022
Baca juga: Empat tren sustainable fashion sepanjang 2021
Baca juga: ISEF 2021 jaring talenta muda dalam fesyen Muslim berkelanjutan
Limbah tekstil di balik fast fashion
Fesyen cepat (fast fashion) merupakan metode desain, pembuatan, dan pemasaran yang fokus pada pakaian yang diproduksi secara massal.
Istilah itu digunakan oleh industri tekstil yang memiliki model bisnis dengan meniru dan memperbanyak desain fesyen kelas atas sehingga menimbulkan berbagai masalah, seperti sumber daya yang menipis, sampai penumpukan limbah berbahaya.
Penumpukan limbah tekstil yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas material menjadikan industri ini sebagai polutan kedua terbesar di dunia. Bahkan produsen fesyen cepat kini tidak hanya merilis tren fesyen untuk dua musim dalam setahun, tetapi juga merilis hingga 52 koleksi mikro per tahun.
Dengan adanya pembaruan micro collection, konsumen akan lebih sering membeli pakaian agar tetap mengikuti tren. Padahal, tiap helai pakaian hanya digunakan rata-rata tujuh kali sebelum akhirnya tak lagi dikeluarkan dari lemari pakaian.
Baca juga: Fashion berkelanjutan bukan tren tapi keharusan
Di Amerika Serikat, setiap orang rata-rata menyumbang limbah tekstil hingga 35 kg per tahun. Indonesia sendiri menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga, yang mana menurut data dari SIPSN KLHK per tahun 2021, kontribusi limbah rumah tangga terhadap komposisi sampah keseluruhan mencapai 42,12 persen. Namun dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang .
Selain menimbulkan limbah, tingginya produksi pakaian dalam waktu singkat juga berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan.
Pengolahan dan pewarnaan tekstil mencemari 20 persen air di kawasan industri, di mana limbah pada air mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri dan arsenik, tetapi juga limbah rumah tangga lainnya seperti sampah organik dari sisa-sisa makanan, sampah anorganik seperti plastik dan kaleng, serta bahan kimia dari deterjen dan batu baterai yang membahayakan kehidupan makhluk hidup dalam air maupun masyarakat yang tinggal di sekitar aliran air.
Baca juga: Re:Style, fesyen berkelanjutan dari limbah mobil
Baca juga: Fesyen berkelanjutan, sungguhan atau jebakan?
Baca juga: Greta Thunberg buka suara soal "greenwashing" hingga pakaian miliknya
Berpacu dalam laju slow fashion yang berkelanjutan
Sadar akan dampak negatif fesyen cepat yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup, kini semakin banyak pihak yang tergerak untuk memperlambat laju limbah tekstil melalui fesyen lambat (slow fashion) yang mengutamakan pemilihan bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan, dan menggunakan material berkualitas tinggi.
Hal-hal sederhana itu mampu memperpanjang usia pakai pakaian. Konsep fesyen lambat akan membuat industri fesyen berjalan selaras dengan konsep ekonomi sirkular.
Baca juga: Fjallraven luncurkan Kanken Art untuk rayakan World Oceans Day
“Ekonomi sirkular merupakan kerangka ekonomi yang berupaya untuk memperpanjang siklus hidup dari suatu produk, bahan baku dan sumber daya yang ada, sehingga bisa dipakai selama mungkin," jelas Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto, dikutip Kamis.
Dalam studi yang dilakukan Bappenas dijelaskan bahwa ekonomi sirkular lebih dari sekadar pengelolaan limbah melalui daur ulang, tetapi juga meliputi pengelolaan sumber daya alam yang mencakup keseluruhan proses produksi, distribusi, dan konsumsi dari hulu hingga ke hilir rantai pasok.
Apabila ekonomi sirkular dapat diterapkan dalam industri tekstil yang berkaitan erat dengan fesyen di Indonesia, limbah tekstil akan berkurang sebanyak 14 persen dan meningkatkan daur ulang limbah tekstil sebanyak 8 persen.
Sebagai salah satu upaya mengurangi dampak negatif dari produksi tekstil, hasil penelitian McKinsey menunjukkan bahwa pakaian yang digunakan dua kali lipat lebih lama akan mengurangi 44 persen emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri tekstil.
Hal itu diikuti para produsen fesyen yang mulai mengambil langkah dalam melanggengkan penggunaan pakaian sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Brand SukkhaCitta, misalnya, berkomitmen untuk menerapkan konsep farm-to-closet, yaitu sistem rantai pasokan yang melibatkan pengolahan bahan baku dari hasil pertanian regeneratif dan penggunaan bahan berkualitas dengan daya pakai yang tinggi.
Dengan begitu, konsumen akan mendapatkan produk fesyen yang berkualitas dan lebih menghargai prosesnya yang dapat mengurangi penebangan pohon, polusi udara, dan penggunaan listrik sebagai penyebab pemanasan global.
Kini, siklus daur ulang pengelolaan sampah yang awalnya dikenal dengan 3R (reduce - reuse - recycle), dalam ekonomi Sirkular telah diuraikan lebih jauh menjadi 9R, yaitu Refuse-Rethink- Reduce-Reuse-Repair-Refurbish-Remanufacture-Repurpose-Recycle-Recovery, yang penerapannya dicontohkan sebagai berikut:
Refuse: Memaksimalkan padu padan setiap helai pakaian yang ada di lemari tanpa membeli pakaian baru. Konsep ini dikenal dengan istilah capsule wardrobe.
Rethink: Menyewakan pakaian yang masih sangat layak atau jarang digunakan, misalnya baju pengantin, gaun pesta, setelan tuksedo, dan sebagainya. Situs www.styletheory.co misalnya, menghadirkan layanan berlangganan sewa berbagai jenis pakaian untuk memperpanjang daya guna pakaian.
Reduce: Memilih produk fesyen dengan bahan alami untuk mengurangi kandungan bahan kimia berbahaya pada limbah tekstil yang dihasilkan dalam proses produksi.
Reuse: Memilih barang-barang secondhand dengan thrifting.
Repair: Memperbaiki kondisi pakaian yang kita miliki, misal memasang kembali kancing yang lepas, mengganti resleting yang rusak, atau memperbaiki jahitan yang terlepas.
Refurbished: Memanfaatkan pakaian-pakaian yang sudah usang atau kotor dengan menambahkan bordir atau sulaman untuk menutupi noda yang tidak bisa hilang dan menisik celana jeans yang sobek.
Remanufacture: Memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari suatu pakaian yang masih layak dan memadukannya dengan pakaian lain untuk mendapatkan gaya yang benar-benar baru, misalnya kerah baju tartan dijahitkan pada bagian leher kaos putih polos.
Repurpose: Mengubah fungsi suatu pakaian, misalnya mengubah celana jeans menjadi rok, membuat selimut patchwork dari potongan-potongan pakaian, dan membuat boneka-boneka kecil dari kaos kaki.
Recycle: Memilah pakaian secara berkala kemudian pakaian yang sudah dipilah didonasikan ke recycle box
Recovery: Memulihkan energi dari limbah dan material pakaian yang tersisa menggunakan berbagai macam teknologi waste-to-energy
“Penerapan 9R dalam industri tekstil dan penggunaan produk tekstil merupakan sebuah siklus kebiasaan untuk tampil gaya yang sejalan dengan tanggung jawab kita untuk merawat bumi, atau dapat kita istilahkan dengan fesyen Sirkular," kata Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif Greeneration Foundation, yang berpartner dengan Kementerian PPN/BAPPENAS dan Pemerintah Kerajaan Denmark untuk mengkomunikasikan ekonomi Sirkular kepada masyarakat Indonesia.
"Konsumen akan menyadari bahwa tampilan produk yang sepintas terlihat tidak mengikuti tren, ternyata memiliki daya guna dan nilai lingkungan yang istimewa sehingga mendukung fesyen Sirkular," kata Vanessa.
"Dengan melihat kedua faktor tersebut, konsumen juga harus semakin jeli meneliti produk yang dibelinya, terbiasa mengkritik produsen yang belum mendukung lingkungan, berusaha sebisa mungkin memperpanjang daya guna tekstil, dan bahkan memahami kandungan bahan baku tekstil yang tidak berbahaya untuk menghindari pencemaran oleh limbah tekstil,” jelas Vanessa.
Baca juga: Cotton Council International dorong penggunaan kapas berkelanjutan
Baca juga: Eiger mulai fokus kembangkan produk "sustainable"
Baca juga: Pria kini punya opsi pakaian dalam nyaman dan ramah lingkungan
Geliat fesyen sirkular dalam melanggengkan ekonomi
Inisiatif produsen dan masukan dari konsumen terkait produk fesyen dapat mendorong industri tekstil untuk menjadi lebih baik, terutama komitmen dalam memilih bahan-bahan yang ramah lingkungan dan bisa diperbarui.
Baca juga: Eiger mulai fokus kembangkan produk "sustainable"
Selain itu, diharapkan produsen dapat menetapkan rancangan yang lebih tahan lama dan memperhatikan efisiensi sumber daya sehingga dapat memastikan produk tersebut dapat digunakan kembali untuk tahapan siklus selanjutnya. Dorongan bagi produsen ini lambat laun akan menciptakan ekosistem ekonomi sirkular yang mendukung penerapan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Indonesia.
Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam upaya penanggulangan permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan melalui ekonomi sirkular dan pembangunan rendah karbon (PRK).
Komitmen itu merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) serta pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). PRK merupakan program prioritas pembangunan yang strategi penerapannya berkaitan erat dengan ekonomi sirkular, yaitu pembangunan energi berkelanjutan, penanganan limbah, dan pengembangan industri hijau.
Penerapan ekonomi sirkular sendiri menaungi lima sektor prioritas, yaitu makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan perdagangan eceran/retail (terfokus pada kemasan plastik), serta peralatan listrik dan elektronik. Ekonomi sirkular akan mendorong pembangunan ekonomi dan pola industri yang lebih berkelanjutan.
Langkah-langkah ekonomi sirkular yang diterapkan pada industri tekstil bukanlah sekadar manajemen pengelolaan limbah, melainkan manajemen pengelolaan sumber daya.
Produksi tidak lagi mengambil bahan mentah dari alam, tetapi mendaur ulang materi yang sudah pernah diolah sehingga apabila diakumulasikan, akan terjadi penghematan modal dan sumber daya. Penerapan ekonomi sirkular pada produk fesyen sebagai bagian dari sektor tekstil bersama dengan penerapan pada 4 sektor prioritas lainnya berpotensi menghasilkan produk domestik bruto sebesar Rp 593 – 638 triliun pada tahun 2030.
Lebih jauh lagi, penerapan ekonomi sirkular dalam industri tekstil berpotensi meningkatkan pemberdayaan perempuan secara signifikan, mengingat sekitar 58% perempuan di Indonesia terlibat dalam industri ini.
Oleh karena itu, industri fesyen harus terus berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk yang tidak hanya memperkaya penampilan, tapi juga merombak tampilan bumi menjadi lebih layak huni. Selain itu, konsumen juga diharapkan agar semakin konsisten memilih produk-produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga seluruh pihak yang terlibat bisa mendukung pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Baca juga: Pria kini punya opsi pakaian dalam nyaman dan ramah lingkungan
Baca juga: Menteri Teten ingin fesyen berkelanjutan kian dikenal masyarakat
Baca juga: Desainer lokal bisa kreasikan wastra jadi fesyen berkelanjutan di ISEF
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022