kalau prevalensinya menurun harapannya menurun juga dari segi jumlah kasusnya
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan besarnya populasi penduduk di suatu daerah dapat mempengaruhi tingginya jumlah anak yang mengalami kekerdilan (stunting).
“Meskipun angka prevalensinya turun dan semakin kecil di bawah 20 persen, tapi karena pengalinya besar, maka jumlahnya menjadi besar,” kata Plt. Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani saat dihubungi ANTARA melalui telepon di Jakarta, Senin.
Menanggapi kondisi banyaknya anak terkena stunting dan gizi buruk di Indonesia, Dani menuturkan angka prevalensi anak yang mengalami stunting turun menjadi 24,4 persen pada tahun 2021 setelah sebelumnya berada pada angka 27,67 persen.
Angka prevalensi di sejumlah daerah juga turut mengalami penurunan. Meskipun bukan daerah tertinggal, populasi penduduk yang padat membuat daerah-daerah itu memiliki jumlah anak stunting yang cederung lebih banyak dibandingkan daerah lainnya.
Baca juga: BKKBN dan Rumah Zakat teken MoU tunjang pembangunan keluarga
Baca juga: Seharusnya tak ada gizi buruk di negara kaya pangan
Berdasarkan Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021, daerah dengan jumlah balita stunting tertinggi adalah Jawa Barat sebanyak 1.055.608 anak, Jawa Timur 653.218 anak, Jawa Tengah 543.963 anak, Banten 294.862 anak dan Sumatera Utara sebanyak 383.403 anak.
“Kalau prevalensinya menurun harapannya menurun juga dari segi jumlah kasusnya. Jadi angkanya 24,4 persen. Kemarin BPS sudah meng-update proyeksi penduduk Indonesia tahun ini mengalami kenaikan jadi 273 juta jiwa. Tapi ada penambahan 2,5 juta jiwa, sebagian besar penambahan itu karena kelahiran,” kata Dani.
Menurut Dani penambahan sebanyak 2,5 juta anak stunting itu, banyak terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal lain yang menyebabkan jumlah anak stunting di suatu daerah menjadi banyak adalah terbatasnya layanan kesehatan terutama pada masa kehamilan dan setelah kehamilan.
Dani menjelaskan satu dari tiga anak usia 3 sampai 6 tahun tidak mengikuti kegiatan pengembangan holistik dan terintegrasi seperti dalam Bina Keluarga Balita (BKB) ataupun melakukan kunjungan ke posyandu.
Hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan pada pengasuhan anak, termasuk melengkapi imunisasi dasar yang dapat menghindarkan anak dari berbagai penyakit juga pemberian ASI eksklusif pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Baca juga: Merck kolaborasi dengan BKKBN untuk hadirkan program edukasi stunting
Baca juga: Pakar: Tidak semua anak bertubuh pendek alami stunting
Dani menyayangkan, tingginya angka stunting juga disebabkan karena sebesar 60 persen balita di Indonesia tidak mendapatkan ASI eksklusif juga makanan pendamping ASI yang layak dari seorang ibu.
Oleh sebab itu, sejumlah upaya dikerahkan oleh BKKBN. Beberapa di antaranya adalah menyusun Pendataan Keluarga Tahun 2021 (PK21) yang memiliki data keluarga agar target tepat sasaran, juga mendirikan Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) untuk memperkuat edukasi terkait gizi pada masyarakat.
Sedangkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan, prevalensi anak yang mengalami wasting (badan anak sangat kurus) ikut mengalami penurunan menjadi 7,1 persen dari 7,4 persen. Hanya saja, angka pada anak yang under weight (berat badan kurang) justru mengalami kenaikan menjadi 17 persen dari 16,3 persen pada tahun 2019.
Baca juga: Kemenkes: 51,2 persen balita stunting berada di lima provinsi absolut
Baca juga: Orang tua bisa cegah stunting dengan pantau tumbuh kembang anak
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022