Gangguan pendengaran merupakan penyebab tertinggi keempat untuk disabilitas. Secara global, dampak yang ditimbulkan dari gangguan pendengaran atau ketulian itu sangat luas dan berat
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maxi Rein Rondonuwu mengatakan jumlah alat bantu pendengaran saat ini belum bisa mencukupi kebutuhan seluruh pasien tuli yang ada di seluruh dunia.
“Gangguan pendengaran merupakan penyebab tertinggi keempat untuk disabilitas. Secara global, dampak yang ditimbulkan dari gangguan pendengaran atau ketulian itu sangat luas dan berat,” katanya dalam Temu Media Hari Pendengaran Sedunia Tahun 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan gangguan pendengaran dapat mengganggu perkembangan kognitif, psikologi dan sosial seseorang. Akibatnya kualitas sumber daya manusia dan daya saing di tingkat global mengalami penurunan.
Berdasarkan data The World Report on Hearing 2021, Maxi menyebutkan 1,5 penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran, yang di antaranya sebanyak 430 juta orang memerlukan layanan rehabilitasi untuk gangguan pendengaran bilateral yang dialami.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun ikut memperkirakan sebesar 20 persen penderita gangguan dengar membutuhkan alat bantu pendengaran.
Sayangnya, alat bantu yang diproduksi hingga kini hanya bisa memenuhi sebanyak 10 persen dari kebutuhan global. Bahkan hanya memenuhi sebesar 3 persen dari kebutuhan pasien di suatu negara berkembang. Artinya, para pasien masih menghadapi keterbatasan akses pada alat tersebut.
Padahal, data Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas Kesehatan Sosial Tahun 2019 menyebutkan sebesar 7 persen dari penyandang disabilitas di Indonesia merupakan tuna rungu.
“Sementara prevalensi global gangguan pendengaran tingkat sedang hingga berat, meningkat seiring bertambah luasnya usia sebesar 12,7 persen pada usia 60 tahun. Lebih dari 58 persen bila pada usia 90 tahun,” katanya.
Menurut dia tanpa penanggulangan yang intensif dalam era teknologi informasi yang semakin maju, jumlah orang yang akan terkena gangguan pendengaran akan meningkat.
Apalagi dengan adanya tempat bekerja yang bising, penyakit bawaan dari lahir ataupun kebiasaan baru yang muncul selama pandemi COVID-19 seperti menggunakan pengeras suara (headset).
Oleh sebab itu, ia berharap kebutuhan dari semua penderita tuli ataupun gangguan pendengaran lainnya, dapat terpenuhi dengan baik bagi pasien di Indonesia ataupun secara global.
Pihaknya turut berharap gangguan pendengaran itu dapat dicegah sejak anak lahir melalui perbaikan gizi seimbang.
“Jadi dengan perbaikan gizi, juga dengan kemajuan peningkatan derajat kesehatan. Tentu gangguan pendengaran ini sudah pasti ke depan akan bertambah karena umur harapan hidup kita semakin besar,” demikian Maxi Rein Rondonuwu .
Baca juga: Mahasiswa UI rancang aplikasi teman tuli dan dengar untuk layanan KRL
Baca juga: Komunitas Tuli Temanggung mengikuti pelatihan seni stensil
Baca juga: Sahabat tuli mendapat pelatihan wirausaha
Baca juga: Dewi Yull ingin film Indonesia ada "subtitle" untuk teman tuli
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022