Pemerintah Indonesia menetapkan tiga prioritas nasional dalam Presidensi Indonesia G20 tahun 2022, yakni arsitektur kesehatan global yang lebih inklusif, transformasi digital dan transisi energi.
Ketiga prioritas utama tersebut dijadikan agenda pembahasan baru atau flagship agenda pada working group dan engagement group Sherpa Track pada ajang yang mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama” tersebut.
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada sesi KTT G20 di Roma pada akhir Oktober 2021, mengajak negara-negara lainnya untuk memperkuat arsitektur kesehatan global agar dapat membangun dunia yang lebih tahan terhadap pandemi dan berbagai goncangan ke depan.
Baca juga: ASM: Pendidikan kedokteran harus beradaptasi dukung sistem kesehatan
Guna mewujudkan hal itu, perlu adanya upaya untuk penggalangan sumber daya kesehatan global mencakup dana, vaksin, obat, alat kesehatan, hingga tenaga kesehatan yang siap diterjunkan setiap saat untuk membantu negara lain yang mengalami krisis kesehatan.
Khusus terkait sumber daya kesehatan, siapkah tenaga kesehatan di Tanah Air diterjunkan untuk membantu negara lain yang menghadapi krisis kesehatan? Atau bahkan mencukupi kebutuhan di dalam negeri jika krisis kesehatan terjadi kembali?
Ketua Purna Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof I Oetama Marsis, mengatakan perlu adanya transformasi dalam pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan di Tanah Air sebelum berbicara mengenai mobilisasi tenaga kesehatan di dalam maupun luar negeri.
Bank Dunia pada 2019 telah memperingatkan Indonesia untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan dan keahlian tenaga kerja Indonesia. Daya saing Indonesia pada 2019 turun peringkat menjadi peringkat 50 dari sebelumnya pada 2018 pada peringkat 2018.
Baca juga: Fraksi NasDem minta pemerintah kirim DIM RUU Pendidikan Kedokteran
Bahkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang merupakan fakultas tertua di Tanah Air dalam mencetak para dokter hanya menempati peringkat diantara 251 hingga 300 berdasar QS Top Universities 2021. Bandingkan dengan Fakultas Kedokteran di National University of Singapore yang menempati peringkat 24 dan Fakultas Kedokteran Universitas di Malaysia yang menempati peringkat 145 dunia.
Ada beberapa masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan di Tanah Air terkait masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan kesehatan yang harus diatasi agar dapat mencapai standar kualitas pendidikan kualitas pendidikan yang universitas dan sesuai dengan standar global WHO.
“Salah satu upaya transformasi pendidikan dan layanan kesehatan dapat dilakukan melalui revisi Undang-undang Pendidikan Kedokteran yang baru,” ujar Marsis saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
UU Pendidikan Kedokteran yang sebelumnya disahkan pada 2013 dinilai kurang dapat mengakomodir perubahan yang terjadi secara pesat dalam beberapa waktu terakhir. Adanya revisi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk penguatan layanan primer, pemerataan distribusi dokter yang saat ini menumpuk di Pulau Jawa dan kecukupannya, beasiswa pendidikan kedinasan, program percepatan produksi dokter spesialis, dan program meningkatkan peran kolegium.
Serta mampu dalam persaingan mobilitas dokter untuk mengisi kebutuhan tenaga dokter bagi kebutuhan global, dengan rekognisi standar kualitas yang diakui secara bilateral dan multilateral.
Transformasi pendidikan kedokteran diperlukan dalam bidang pendidikan dan pelatihan institusi, akreditasi serta regulasi, keuangan dan keberlanjutan, pemantauan dan evaluasi, serta tata kelola dan perencanaan.
“Untuk menerapkan itu semua (transformasi pendidikan kedokteran) perlu adanya regulasi baru. Jika tidak maka akan melanggar semua peraturan universal yang berlaku dengan melakukan kolaborasi berbagai pihak,” kata dia menerangkan.
Baca juga: Baleg setujui RUU Pendidikan Kedokteran jadi usul inisiatif DPR
Dia juga melihat perlunya perubahan sistem pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan dokter spesialis yang dinilai berjalan lambat, karena hanya dapat menerima residen atau Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sekitar 20 hingga 30 persen dari pendaftar.
Hal itu menyebabkan jumlah dokter spesialis di Tanah Air jauh dari kata cukup. Untuk dokter spesialis anak misalnya saat ini baru 4.800 orang, padahal kebutuhannya 15.000 dokter. Dengan kondisi saat ini, jumlah dokter spesialis anak yang dihasilkan setahun sekitar 250 hingga 300 orang, maka diperlukan waktu setidaknya 20 tahun untuk mencukupi kebutuhan itu.
Begitu juga dengan dokter spesialis paru, yang saat ini berjumlah 1.300 orang, padahal kebutuhannya 2.700 orang. Dengan produksi per tahun 100 dokter spesialis paru, maka diperlukan waktu setidaknya 14 tahun.
Selain itu, model pendidikan kedokteran perlu diubah. Selama ini yang menjadi hambatan mahasiswa kedokteran adalah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Ujian itu menjadi kewajiban bagi mahasiswa kedokteran dan bersifat nasional berdasarkan UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Baca juga: Anggota DPR: WNI banyak berobat ke luar negeri
Dalam usulan model baru pendidikan kedokteran, UKMPPD tidak perlu diambil jika lulusan pendidikan kedokteran tersebut ingin pilihan karir lain atau dengan kata lain tidak ingin praktik.
“Di luar negeri, pandemi COVID-19 telah memaksa seluruh institusi pendidikan kedokteran untuk melakukan adaptasi besar dan segera dalam proses dan evaluasi hasil pembelajaran. Amerika Serikat menyiapkan strategi untuk mempercepat lulusan dokter seiring dengan meningkatnya kasus COVID-19 di negara itu beberapa waktu lalu,” tambah dia lagi.
Marsis juga mengingatkan selain transformasi pada model pendidikan kedokteran juga perlu transformasi dalam proses pembelajaran, yakni untuk mencapai capaian kompetensi yang ditetapkan dengan aplikasi format pendidikan digital. Misalnya dengan penerapan telehealth dan telemedicine yang sudah terjadi di beberapa fakultas kedokteran beberapa negara.
Transformasi
Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran, Willy Aditya, mengatakan perlu adanya transformasi dalam pendidikan kedokteran di Tanah Air.
"Penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran terkait migrasi dunia 4.0, ini lingkungan strategis pesat yang harus kita respons dalam pendidikan kedokteran. Dalam dunia yang akan serba digitalisasi, dokter niscaya hanya akan jadi fasilitator. Selain itu, masalah utama distribusi juga masih jadi masalah hingga saat ini. Dokter kita masih sangat terbatas dan menumpuk di Jawa," kata Willy.
Dokter tidak hanya menumpuk di Jawa tetapi secara spesifik menumpuk di wilayah perkotaan. Penyebabnya adalah kehendak untuk mengembalikan biaya pendidikan yang begitu mahal. Selain itu juga ditambah dengan mekanisme UKMPPD yang membuat seorang calon dokter menjadi masuk sulit, keluar pun sama sulitnya.
Baca juga: Anggota DPR RI: 3.000 mahasiswa kedokteran belum ikuti uji kompetensi
“Indonesia lahir dari perjuangan para dokter. Oleh karena itu, perlu menyelesaikan persoalan pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan ini. Termasuk dalam mencapai kompetensi dokter yang diharapkan,” terang Willy yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR itu.
Willy mengingatkan, pendidikan kedokteran menjadi hulu dalam upaya membangun sistem kesehatan nasional yang lebih beradab dan berperikemanusiaan. Untuk itu perlu upaya pembenahan sektor hulu, agar cita-cita memperkuat arsitektur kesehatan global dapat terwujud. ***3***
Pewarta: Indriani
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2022