• Beranda
  • Berita
  • Koalisi Perempuan Pebisnis: Budaya paternalistik hambat pemberdayaan

Koalisi Perempuan Pebisnis: Budaya paternalistik hambat pemberdayaan

8 Maret 2022 19:13 WIB
Koalisi Perempuan Pebisnis: Budaya paternalistik hambat pemberdayaan
Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita. ANTARA/HO

budaya paternalistik masih memandang perempuan sebelah mata di dalam perusahaan ...

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita menyatakan bahwa budaya paternalistik atau gaya kepemimpinan yang kebapakan kerap menghambat pemberdayaan perempuan untuk menjadi pucuk pimpinan perusahaan.

"Itu sumber masalahnya kalau kita bicara tentang apa yang terjadi dengan fenomena ketimpangan gender atau glass ceiling," kata Maya dalam rilis acara diskusi Katadata dengan tema "Breaking The Glass Ceiling" di Jakarta, Selasa.

Ia berpendapat bahwa budaya paternalistik masih memandang perempuan sebelah mata di dalam perusahaan sehingga membuat kaum hawa dinilai kurang tepat untuk menjadi pemimpin tertinggi dalam satu organisasi atau perusahaan.

Baca juga: Sri Mulyani soroti isu dan tantangan sebagai pemimpin dan wanita

Selain masih kentalnya budaya kepemimpinan paternalistik, menurut Maya, masalah stereotip yang juga menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan dalam menggapai impiannya menjadi pemimpin di suatu perusahaan.

Salah satu contoh stereotip tersebut, lanjutnya, adalah perempuan dianggap kurang bisa dalam mengaktualisasi diri, sehingga jadi penghambat untuk memperoleh promosi. Lalu, perempuan dianggap cenderung lebih sulit membangun jaringan dan relasi.

Ia juga mengemukakan bahwa perempuan juga sering dianggap lebih baik berdiam diri di rumah sebagai ibu rumah tangga ketimbang bekerja.

"Stereotip yang paling parah, kedudukan perempuan dipandang lebih rendah ketimbang kedudukan laki-laki. Anggapan-anggapan seperti itu masih saja dirasakan atau berlaku di lingkungan perusahaan, sadar maupun tidak sadar," katanya.

Dengan kata lain, ujar dia, posisi-posisi kepemimpinan atau nilai-nilai kepemimpinan di suatu perusahaan kerap kali dikaitkan dengan maskulinitas dan laki-laki yang dinilai tidak dimiliki perempuan.

Kemudian, lanjut Maya, perempuan dihadapkan pada konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan. Apalagi di saat pandemi COVID-19, hal itu semakin berat, karena selain urus rumah tangga, perempuan juga harus mengurus anak yang bersekolah dari rumah.

"Banyak faktor terkait dengan fenomena glass ceiling, tapi faktor lingkungan sangat berpengaruh kenapa perempuan tidak bisa mencapai puncak pimpinan tertinggi," kata dia.

Baca juga: Menkeu: Masyarakat perlu turut kurangi rintangan karir bagi perempuan

Dia mengaku, sulit mengubah stereotip yang terlanjur sudah mendarah daging. Namun, bukan berarti stereotip tersebut tidak bisa dihilangkan, karena salah satu strategi menebus fenomena glass ceiling di perusahaan yakni dengan menghubungkan dalam kepentingan ekonomi.

"Kalau kita bicara isu perempuan, masih dibawa ke dalam isu sosial, belum dibawa ke dalam isu ekonomi. Kalau kita bawa itu ke isu ekonomi, akan lebih relevan. Misalnya bagaimana perusahaan berinvestasi pada perempuan dan punya pemimpin perempuan yang berpotensi meningkatkan kinerja bisnis," tegasnya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022