Hampir dua tahun sistem kesehatan dunia mendapatkan tekanan besar
Saat ini seluruh dunia sedang mengalami pandemi COVID-19 yang menuntut setiap negara berperan dan saling bahu-membahu untuk mengatasi pandemi.
Salah satunya dengan meningkatkan kerja sama antar negara dalam hal saling mencukupi kebutuhan dunia akan kesehatan demi pemulihan global.
Pemulihan global akibat dampak pandemi membutuhkan kerja sama global yang lebih kuat, karena dunia bisa pulih dari pandemi hanya kalau semua negara pulih dari pandemi.
G20 sebagai kumpulan 20 ekonomi utama dunia yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi memiliki kapasitas untuk mendorong pemulihan global.
Sebagai Presidensi G20, Indonesia pun mengusung semangat pulih bersama dengan tema Recover Together, Recover Stronger.
Tema ini diangkat oleh Indonesia, menimbang dunia yang masih dalam tekanan akibat pandemi COVID-19, memerlukan suatu upaya bersama dan inklusif, dalam mencari jalan keluar atau solusi pemulihan dunia.
Melalui G20, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun secara resmi telah mengenalkan jalur kesehatan sebagai upaya untuk menentukan arah perjalanan dunia dalam mengakhiri pandemi.
"Karena seperti yang kita tahu, sudah hampir dua tahun sistem kesehatan dunia mendapatkan tekanan besar untuk bangkit dan pulih dari pandemi COVID-19. Sebab, pandemi tidak hanya berdampak pada sistem kesehatan global namun juga berdampak pada kehidupan masyarakat global," tuturnya.
Menurut dia salah satu pelajaran paling penting yang didapat dari pandemi COVID-19 adalah bahwa saat ini arsitektur kesehatan global lambat untuk merespon pandemi dan tidak siap untuk mencegah keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat di masa depan.
Sekretaris Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, terdapat tiga sub isu prioritas arsitektur kesehatan global, yakni membangun sistem ketahanan kesehatan global, harmonisasi standar protokol kesehatan global, dan mengembangkan pusat studi serta manufaktur untuk pencegahan persiapan dan respon terhadap krisis kesehatan yang akan datang.
Diharapkan, negara-negara anggota G20 dapat melakukan kolaborasi lebih lanjut untuk mewujudkan suatu Arsitektur Kesehatan Global yang lebih inklusif, kooperatif, responsif dan lebih kuat dalam menghadapi berbagai isu kesehatan.
Baca juga: RI dorong perluasan manufaktur perkuat arsitektur kesehatan global
Baca juga: Pembelanjaan PDB jadi ukuran negara prioritaskan sektor kesehatan
Mobilisasi sumber daya
Mobilisasi sumber daya kesehatan seperti fasilitas kesehatan, kefarmasian dan alat kesehatan, tenaga kesehatan, laboratorium, dan pembiayaan kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan, cukup menyulitkan upaya alokasi dan distribusi sumber daya kesehatan yang merata.
Salah satu contohnya adalah pendistribusian alat pelindung bagi tenaga kesehatan selama periode pandemi yang tidak merata.
Di wilayah timur Indonesia, APD tenaga kesehatan relatif tidak dapat disediakan secara cepat dalam jumlah yang memadai. Kondisi itu pun menempatkan tenaga kesehatan sebagai kelompok yang rentan untuk tertular COVID-19.
Di sisi lain, pemerintah juga masih perlu mendistribusikan tenaga kesehatan (nakes) ke seluruh daerah agar merata.
Karena, salah satu kunci sistem kesehatan agar lebih baik adalah sumber daya manusia di bidang kesehatan yang mumpuni dan merata.
Tenaga kesehatan di masyarakat berperan penting dalam penanganan kedaruratan kesehatan pada setiap level intervensi. Karena, tenaga kesehatan memiliki kemampuan dalam upaya promotif dan preventif.
Namun sayangnya, distribusi SDM kesehatan di Indonesia belum merata.
Menurut, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, hal itu disebabkan karena kurangnya dokter di puskesmas Indonesia bagian timur, sementara di beberapa daerah lain mengalami kelebihan pasokan.
Menurut, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, hal itu disebabkan karena kurangnya dokter di puskesmas Indonesia bagian timur, sementara di beberapa daerah lain mengalami kelebihan pasokan.
Di samping itu, insentif yang kurang menarik dan pola karir tidak jelas turut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak meratanya tenaga kesehatan di dalam negeri.
Disampaikan, rasio dokter untuk 1.000 warga negara Indonesia sampai saat ini baru mencapai 0,67 persen yang terdiri dari dokter umum dan spesialis.
Sedangkan, rata-rata kebutuhan dokter di Asia mencapai 1,2 persen dan kebutuhan dokter di negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) 3,2 persen.
Sedangkan, rata-rata kebutuhan dokter di Asia mencapai 1,2 persen dan kebutuhan dokter di negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) 3,2 persen.
Sementara itu di level internasional, Indonesia melalui G20 akan mendorong pembangunan pusat studi serta manufaktur bidang kesehatan di negara berkembang.
Melalui G20 juga, Indonesia akan memperkuat jaringan kolaborasi dan jejaring antara para ahli ilmuwan pada sektor kesehatan masyarakat.
"Ini menjadi sangat penting untuk menetapkan suatu pusat manufaktur regional dan pusat sebagai kolaborasi riset regional," tutur Siti Nadia.
Menurutnya, untuk memperkuat hubungan global, khususnya bagi para ilmuwan di bidang virologi, imunologi, epidemiologi dan bidang keilmuan lainnya yang terkait dengan krisis kesehatan adalah dengan membangun pusat penelitian di negara berkembang.
Ia mengatakan, pusat studi serta manufaktur untuk pencegahan persiapan dalam merespon terkait krisis kesehatan yang akan datang penting dikembangkan.
Ia mengatakan, pusat studi serta manufaktur untuk pencegahan persiapan dalam merespon terkait krisis kesehatan yang akan datang penting dikembangkan.
"Kita tahu dunia saat ini perlu memperluas fasilitas sektor kesehatan secara global agar pandemi dan krisis kesehatan lainnya di masa depan bisa dicegah, dan negara-negara di dunia menjadi lebih siap serta mampu merespon lebih cepat terhadap potensi krisis kesehatan lainnya di masa depan," tuturnya.
Saat ini, terdapat teknologi MRNa dalam pembuatan vaksin. Teknologi itu memungkinkan pengembangan yang lebih cepat terhadap penemuan vaksin dan juga lebih murah serta aman untuk merespon suatu kondisi pandemi.
Namun sayangnya, pengembangan vaksin MRNa hanya terjadi di negara-negara maju saja.
Baca juga: Mewujudkan pemerataan sumber daya lewat transformasi kesehatan
Baca juga: Transformasi pendidikan kedokteran upaya perkuat arsitektur kesehatan
Baca juga: Mewujudkan pemerataan sumber daya lewat transformasi kesehatan
Baca juga: Transformasi pendidikan kedokteran upaya perkuat arsitektur kesehatan
Kesetaraan
Melalui G20 pula, Indonesia akan mendorong setiap negara memiliki akses kesehatan yang setara, salah satunya terhadap teknologi pengembangan vaksin, terapeutik dan diagnostik.
Diharapkan, G20 memiliki komitmen politik yang kuat untuk membangun sistem kesehatan global. Dengan begitu, negara di dunia tidak akan mengalami kesulitan untuk keluar dari situasi sulit ketika terjadi kedaruratan kesehatan di masa depan.
G20 tahun ini adalah saatnya untuk mengubah arsitektur kesehatan global. Respon kolektif negara G20 tahun ini akan menentukan jalannya pandemi saat ini dan masa depan.
Dalam semangat kemitraan, Indonesia pun mengajak para pemimpin G20 untuk terus berkolaborasi dalam membangun mekanisme global dalam pengumpulan sumber daya untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi, peningkatan kemampuan surveilans genomic secara global termasuk pemulihan sistem kesehatan yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di dunia sejatinya telah memberi kesadaran bahwa sistem kesehatan yang tangguh harus benar-benar dibangun sebagai benteng pertahanan terdepan untuk merespon dan siap menghadapi pandemi yang dapat saja terjadi di kemudian hari.
Bukan hanya untuk menyelesaikan pandemi, tapi juga untuk memastikan agar setelah pandemi berlalu sistem kesehatan menjadi jauh lebih baik daripada kondisi sebelum pandemi, serta dapat memiliki daya tanggap dan kapasitas yang lebih baik dalam menghadapi krisis kesehatan lainnya.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022