Tanoto Foundation salah satu filantropi independen membantu Pemprov NTT dalam percepatan penanganan kasus tunting atau kekerdilan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan memberikan pelatihan kepada para bidan di daerah itu.angka stunting Indonesia ditargetkan 14 persen pada 2024 sangat ambisius
Head of Early Childhood Education and Development (ECED) di Tanoto Foundation, Eddy Henry kepada wartawan di Kupang, Senin mengatakan bahwa para bidan tersebut disebut dengan tim pendamping keluarga (TPK) yang dibentuk oleh BKKBN.
"Untuk NTT tahun ini kita baru mulai fokus pada penanganan stunting, bekerja sama dengan BKKBN. Tetapi secara nasional sebelumnya kita sudah bantu penanganan stunting nasional yang dampaknya untuk NTT juga," katanya.
Ia mengatakan salah satu bentuk percepatan penanganan stunting di Kabupaten TTS adalah pihaknya pada tanggal 24-26 Maret lalu sudah memberikan pelatihan kepada para TPK tersebut.
Untuk tahap pertama pelatihan tersebut pihaknya melatih bagaiman memberikan makanan tambahan bagi balita dan masih ada pelatihan lain sehingga para kader-kader tersebut sebagai penyuluh yang mumpuni.
Baca juga: Ketika stunting menjadi momok yang mengkhawatirkan di NTT
Baca juga: Presiden minta angka prevalensi tengkes 14 persen tercapai 2024
Namun untuk berikutnya pelatihan yang hampir sama juga akan diberikan oleh Tanoto Foundation agar angka stunting di NTT khususnya di Kabupaten TTS itu bisa terus alami penurunan.
"Dalam pemberian pelatihan di TTS itu ada tiga komponen yakni bidan desa, kader bidan serta kader KB," ujar dia.
Henry menyadari bahwa berdasarkan laporan BKKBN angka stunting di kabupaten TTS memang sangat mengkhawatirkan dan paling tinggi saat ini di NTT yakni mencapai 48,2 persen.
Karena itu pihaknya fokus di kabupaten tersebut terlebih dahulu baru lanjut ke kabupaten lainnya di NTT yang berdasarkan laporan BKKBN masuk dalam kategori merah.
Henry mengatakan bahwa keberadaan Tanoto Faoundation sendiri adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menurunkan angka stunting di NTT walaupun baik pemerintah, NGO lainnya sudah membantu penurunan angka stunting di NTT.
"Memang target Presiden agar angka stunting Indonesia ditargetkan 14 persen pada 2024 sangat ambisius. Dan ini juga kita perlu lihat juga dengan jumlah penduduknya," ujar dia.
Baca juga: Presiden: Perlu pendampingan calon pengantin untuk cegah tengkes
Namun untuk berikutnya pelatihan yang hampir sama juga akan diberikan oleh Tanoto Foundation agar angka stunting di NTT khususnya di Kabupaten TTS itu bisa terus alami penurunan.
"Dalam pemberian pelatihan di TTS itu ada tiga komponen yakni bidan desa, kader bidan serta kader KB," ujar dia.
Henry menyadari bahwa berdasarkan laporan BKKBN angka stunting di kabupaten TTS memang sangat mengkhawatirkan dan paling tinggi saat ini di NTT yakni mencapai 48,2 persen.
Karena itu pihaknya fokus di kabupaten tersebut terlebih dahulu baru lanjut ke kabupaten lainnya di NTT yang berdasarkan laporan BKKBN masuk dalam kategori merah.
Henry mengatakan bahwa keberadaan Tanoto Faoundation sendiri adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menurunkan angka stunting di NTT walaupun baik pemerintah, NGO lainnya sudah membantu penurunan angka stunting di NTT.
"Memang target Presiden agar angka stunting Indonesia ditargetkan 14 persen pada 2024 sangat ambisius. Dan ini juga kita perlu lihat juga dengan jumlah penduduknya," ujar dia.
Baca juga: Presiden: Perlu pendampingan calon pengantin untuk cegah tengkes
Baca juga: BKKBN: Kunjungan Presiden ke NTT bentuk keseriusan hadapi stunting
Berdasar Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, di NTT terdapat 15 kabupaten kategori merah karena angka kekerdilan di atas 30 persen, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, dan Rote Ndao.
Selain itu, Kabupaten Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata, dan Malaka. Bahkan, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara tercatat angka prevalensi di atas 46 persen.
Sebanyak lima di antara 15 kabupaten di NTT itu, masuk 10 besar daerah dengan angka prevalensi kekerdilan tertinggi di Indonesia dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan kekerdilan. Kelima kabupaten tersebut, Timor Tengah Selatan peringkat pertama, Timor Tengah Utara peringkat kedua, Alor peringkat kelima, Sumba Barat Daya peringkat keenam, dan Manggarai Timur peringkat kedelapan
BKKBN menyebutkan tujuh kabupaten/kota kategori kuning dengan angka kekerdilan antara 20-30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang, serta Flores Timur.
Baca juga: Presiden soroti rumah tak layak huni penyebab kekerdilan di NTT
Baca juga: Bulog NTT salurkan belasan ribu beras fortivit cegah stunting di TTS
Berdasar Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, di NTT terdapat 15 kabupaten kategori merah karena angka kekerdilan di atas 30 persen, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, dan Rote Ndao.
Selain itu, Kabupaten Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata, dan Malaka. Bahkan, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara tercatat angka prevalensi di atas 46 persen.
Sebanyak lima di antara 15 kabupaten di NTT itu, masuk 10 besar daerah dengan angka prevalensi kekerdilan tertinggi di Indonesia dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan kekerdilan. Kelima kabupaten tersebut, Timor Tengah Selatan peringkat pertama, Timor Tengah Utara peringkat kedua, Alor peringkat kelima, Sumba Barat Daya peringkat keenam, dan Manggarai Timur peringkat kedelapan
BKKBN menyebutkan tujuh kabupaten/kota kategori kuning dengan angka kekerdilan antara 20-30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang, serta Flores Timur.
Baca juga: Presiden soroti rumah tak layak huni penyebab kekerdilan di NTT
Baca juga: Bulog NTT salurkan belasan ribu beras fortivit cegah stunting di TTS
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022