"Berdasarkan data Komnas HAM maupun KPAI dan lain sebagainya, itu terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan itu, ada sekitar 6.000 kasus, sementara yang sampai ke pengadilan itu kurang dari 300, berarti kurang dari 5 persen," kata Edward di Kompleks DPR, Jakarta, Senin.
Menurutnya, data tersebut menunjukkan terdapat kesalahan dalam hukum acara yang saat ini berlaku.
"Kami yang berlatar belakang hukum itu (menilai) berarti something wrong, ada sesuatu yang salah dengan hukum acara kita," kata Edward.
Baca juga: KPPPA tegaskan ayah pemerkosa 2 anak di Likupang dapat dihukum kebiri
Baca juga: Kekerasan seksual di kampus dan urgensi pengesahan RUU TPKS
Oleh karena itu, hukum acara perlu untuk diatur dengan sangat rinci sesuai dengan substansi baru yang terdapat dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
"Memang substansi baru itu banyak pada persoalan ketentuan pidana maupun pada hukum acaranya," kata dia.
Wamenkumham juga yakin bahwa RUU TPKS tidak akan tumpang tindih dengan peraturan-peraturan lain yang sudah berlaku.
"Undang-undang ini tidak akan tumpang tindih dengan Undang-undang yang lain karena ketika membuat, membahas DIM itu, kita menyandingkan dengan undang-undang yang existing, baik Undang-undang Perlindungan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga, kemudian ada Undang-undang Perlindungan Anak, ada rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, termasuk kita melakukan sandingan dengan Undang-undang Pengadilan HAM," katanya.*
Baca juga: Menteri PPPA kecam ayah perkosa anak kandung di Solo
Baca juga: Menjelang babak baru perdebatan "consent" dan "seks bebas" RUU TPKS
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022