• Beranda
  • Berita
  • PPATK: Penerapan pajak karbon berpotensi ciptakan kebocoran penerimaan

PPATK: Penerapan pajak karbon berpotensi ciptakan kebocoran penerimaan

31 Maret 2022 11:28 WIB
PPATK: Penerapan pajak karbon berpotensi ciptakan kebocoran penerimaan
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustivandana dalam acara PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta, Kamis (31/3/2022). (ANTARA/AstridFaidlatulHabibah)

Masifnya penerapan pajak karbon di Indonesia dapat menimbulkan potensi kebocoran penerimaan negara yang teridentifikasi dilakukan oleh oknum dan pelaku usaha

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustivandana menyatakan penerapan pajak karbon yang masif di Indonesia berpotensi menimbulkan kebocoran pada penerimaan negara yang dilakukan oleh oknum dan pelaku usaha.

“Masifnya penerapan pajak karbon di Indonesia dapat menimbulkan potensi kebocoran penerimaan negara yang teridentifikasi dilakukan oleh oknum dan pelaku usaha,” katanya dalam acara PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta, Kamis.

Ivan menyebutkan beberapa tindak pidana terkait pajak karbon yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara adalah tax fraud, korupsi hingga pencucian uang.

Hal ini sejalan dengan penelitian Anti Corruption Resource Center pada 2021 yang menyatakan korupsi pada pajak karbon dapat menurunkan efektivitas pengenaan pajak karbon pada pelaku usaha sehingga berdampak terhadap tidak terwujudnya carbon net sink yang ditargetkan pemerintah.

Selain itu, berdasarkan hasil penilaian risiko nasional di bidang pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pemberantasan terorisme 2021 menetapkan korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang berisiko tinggi yang diikuti dengan tindak pidana di bidang perpajakan.

Meski demikian, rezim anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme telah dibangun sejak dua dekade melalui penerapan UU 15/2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU 25/2003 yang kemudian diamandemen menjadi UU 8/2010.

Penerapan Undang-Undang tersebut dinilai mampu mendisrupsi aktivitas pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana bidang perpajakan termasuk pajak karbon.

Disrupsi pencucian uang melalui gerakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di Indonesia dapat berjalan secara efektif dan optimal apabila dilakukan secara sinergi dan solid antara sektor publik dan privat termasuk pelaku usaha yang menghasilkan emisi karbon.

“Kewajiban pelaporan ke PPATK yang dilakukan oleh pihak pelapor dapat membantu pelaksanaan tugas PPATK dalam melakukan monitoring terhadap transaksi keuangan yang terindikasi adanya kebocoran penerimaan negara atas pajak karbon,” jelas Ivan.

Selain itu, sinergi dengan instansi penegak hukum juga perlu dioptimalisasikan dalam rangka asset recovery dan penyelamatan penerimaan negara dari tindak pidana korupsi, tindak pidana bidang perpajakan dan tindak pidana pencucian uang.

Baca juga: Kemenkeu sebut penerapan pajak karbon diundur jadi Juli 2022
Baca juga: Bank Dunia: Pajak karbon sumber pendapatan potensial yang besar
Baca juga: BKF: Perluasan sektor yang dipungut pajak karbon dilakukan pada 2025

 

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022